Wednesday, July 19, 2006

Membangun Perdamaian Berbasis Pluralisme, Anti Kekerasan dan Peran Perempuan Sebagai Agen Perubahan

1. Penanganan Konflik dan Inspirasi Pembangunan Perdamaian.

Masalah penyerangan antar satu kelompok dengan kelompok yang lain, merupakan konsumsi sehari-hari di setiap media, apakah media cetak atau media elektronik. Misalkan saja kasus penyerangan yang dilakukan oleh mahasiswa di Papua, pertikaian yang terjadi di Palu dan tempat-tempat lainnya. Konflik ini terjadi, merupakan rentetan permasalahan kecil yang mungkin terjadi selama ini, tetapi tidak pernah dilakukan penyelesaiannya secara tuntas, sehingga menimbulkan permasalahan yang lebih besar lagi.

Pada hakekatnya penyelesaian konflik mempunyai peran untuk dimainkan, bahkan dalam zona perang sekalipun, harus menciptakan perdamaian dan pemahaman diantara komunitas yang terpisah, merupakan elemen kemanusiaan yang penting. Kami berpendapat bahwa penyelesaian konflik adalah bagian integral pekerjaan dan menuju ke arah pembangunan keadilan sosial dan transformasi sosial yang bertujuan menangani masalah-masalah di mana tentara bayaran dan tentara anak-anak merupakan gejalanya. Kami berpendapat bahwa pemahaman yang luas terhadap penyelesaian konflik, tidak hanya menyangkut mediasi antara pihak-pihak yang bersengketa tetapi juga usaha-usaha yang ditujukan pada konteks-konteks yang lebih luas, dimana aktor-aktor internasional, hubungan dengan sekutu domestik dan antar kelompok tetap mempertahankan konflik dan kekerasan. Akhirnya kami berpendapat bahwa meskipun teori dan praktek penyelesaian masalah yang sedang kami tangani berakar dari Barat, setiap kebudayaan dan masyarakat mempunyai versinya sendiri tentang kebutuhan sosial dan politik secara umum. Masalahnya adalah bukan meninggalkan penyelesaian konflik karena berasal dari Barat, tetapi bagaimana menemukan cara untuk memperkaya tradisi Barat dan non Barat melalui pertemuan kedua kubu ini (Disarikan dari Resolusi Damai Konflik Kontemporer, Hugh Mial, Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse, 2000:6-7).

Dalam membuat argumen ini, penulis mengakui bahwa penyelesaian konflik itu sendiri selalu berubah dan berkembang untuk mengatasi perubahan sifat konflik. Tujuan penulis adalah mendorong pemahaman tentang konflik kontemporer dan menunjukkan bagaimana praktek dan pemikiran resolusi berubah dalam responnya. Dalam melakukan ini kami memberikan sebuah gambaran berbagai organisasi dan individu yang terlibat dalam bidang ini, tidak hanya dalam organisasi internasional dan NGO (LSM) tetapi juga dalam partai politik dan lapisan masyarakat bawah yang sedang bertikai.kami akan mengkaji teori dan praktek penyelesaian konflik, menuju dihadapi serta perluasan ruang lingkup aplikasinya (Hugh Mial, Oliver Ramsbotham, Tomwoodhouse).

Bila merujuk kepada Hugh Mial, Oliver Ramsbotham, Tomwoodhouse, kita akan menyadari betapa pentingnya perdamaian dunia. Hampir semua bangsa di belahan bumi ini mengalami peristiwa yang namanya konflik, kendatipun itu skalanya besar atau kecil, demikian juga jumlah korbannya besar atau kecil. Ketika konflik terjadi dan kita berusaha untuk melakukan penyelesaian dengan berbagai metode dan menciptakan pengertian yang mendalam diantara kedua pihak yang bertikai maka konflik paling tidak terminimalisir jumlahnya dan mungkin juga secara berangsur-angsur akan hilang.

Quest for Global Healing yang dilaksanakan di Bali, merupakan inspirasi bagi setiap peserta dari belahan bumi manapun, tidak memandang suku, agama dan latar belakang budaya lainnya, untuk bertemu muka dan berdiskusi, walaupun konteks budaya, sosial, politik dan yang lainnya berbeda, tetapi mempunyai keinginan menginspirasikan dunia damai. Seperti thema yang diangkat pada Quest for Global Healing yang ke-2 ini “Inspiring for World Renewal”. Bagi P3i, hal ini merupakan satu rekomendasi yang cukup penting, dimana sangat banyak pengalaman, ilmu pengetahuan yang dapat dijadikan inspirasi, untuk berbuat dan bertindak dalam membuat satu usaha yang cukup signifikan untuk mewujudkan perdamaian dunia, terutama di Indonesia. Begitu banyakpersoalan-persoalan yang belum ditemukan cara penyelesaiannya, sehingga dimasa yang akan datang, jika tidak ditangani dengan segera, akan menimbulkan persoalan-persoalan dan konflik baru. Macetnya pemahaman akan pentingnya pluralisme di Indonesia, menambah besar problem yang harus dihadapi, sementara realitasnya masyarakat di Indonesia sangat beragam baik dari segi budaya, agama, suku, ras dan lain sebagainya. Kendatipun Bhineka Tunggal Ika yang menjadi prinsip dan pandangan senantiasa diangkat, tetapi hanya sebatas wacana saja. Dalam kenyataan hidup sehari-hari tidaklah demikian. Kebebasan dalam menjalankan toleransi beragama, juga masih sebatas wacana saja, dan juga rasa antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya, menambah sulitnya akan pemahaman pluralisme. Di sisi lain, relasi yang belum seimbang antara laki-laki dan perempuan, juga merupakan permasalahan yang harus dicari jalan keluarnya. Sebagai contoh pemahaman akan reinterpretasi agama, yang sering dijadikan alasan untuk tidak seimbangnya relasi antara laki-laki dan perempuan.

Masalah Hak Asasi manusia, merupakan masalah yang terdepan dan penting untuk harus dicari jalan keluarnya. Sangat terhitung orang yang berani menyatakan kebenaran dan keadilan karena nyawa yang akan menjadi taruhannya. Rendahnya tingkat advokasi terhadap hukum di Indonesia, mengakibatkan para aparat hukum dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, hanya sebatas angan-angan dan wacana. Sementara dalam realitasnya entah kapan akan terwujud menjadi suatu pertanyaan besar. Begitu banyak kasus-kasus yanglenyap tanpa meninggalkan jejak ditelan hukum yang tiada berkeadilan dan berprikemanusiaan/tiada berhatinurani.

2. Perempuan Sebagai Agen Perubahan Untuk Perdamaian

Sejak dahulu kala wanita dijajah pria, dijadikan sangkar madu. Lagu ini merupakan realitas dalam kehidupan sehari-hari. Seorang perempuan yang senantiasa menderita karenatidak femininya kehidupan dan situasi hampir di setiap tempat di belahan bumi ini. Situasi yang memanas dan konflik yang terjadi di dunia ini, terutama di Indonesia, menyebabkan penderitaan yang tiada berkesudahan/penderitaan yang berkepanjangan bagi perempuan. Bila kita kaji dari masa ke masa, perempuan tetap saja yang paling mnderita apabila terjadi konflik. Fakta yang dapat kita lihat penderitaan perempuan karena tidak femininnya kehidupan ini, dari masa ke masa. Di Quest for Global Healing terutama Sessi Indonesia, kita lihat dapat melihat penderitaan perempuan dari masa ke masa karena konflik yang terjadi di Indonesia. Testimony yang dilakukan oleh Bu Mamiek, bagaimana penderitaannnya di zaman G 30 S PKI, dilecehkan, dianggap pelacur dan dipenjarakan, dengan kata lain diperlakukan dengan tidak berprikemanusiaan. Selain Bu Mamiek, kita dapat juga melihat penderitaan Bu Aysiah, dimana suaminya meninggal karena konflik yang terjadi di Aceh/DOM dan saat tsunami melanda Aceh. Demikian juga dari penuturan Galuh Wandita, yakni penderitaan yang terjadi karena pemusnahan yang terjadi tanpa rasa prikemanusiaan, saat jajak pendapat di Timor-Timur. Penderitaan lain, yaitu saat terjadi konflik di Ambon, diPoso, kasus bom di Jakarta, kerusuhan Mei 1998, bom Bali, dan lain sebagainya. Pada intinya, ketika konflik perempuanlah yang paling menderita, karena harus kehilangan orang yang diantaranya, yang selama ini mendukung dan menopang kehidupan mereka, kehilangan wilayah yang selama ini dikelola, dan kehilangan segalanya.

Disamping konflik,tidak tegaknya hukum yang mendukung terwujudnya kebenaran dan keadilan di Indonesia, juga mengakibatkan penderitaan bagi perempuan. Dapat kita lihat dari kasus suciwati, dimana akibat dari meninggalnya suami yang ia cintai (Munir), yang terbunuh karena melakukan advokasi terhadap orang-orang yang selama ini hilang, tidak pernah mendapat kan keadilan dan diperlakukan dengan tidak berprikemanusiaan. Munir (alm) tidak kuat melihat orang-orang yang bertindak sewenang-wenang, kezaliman terjadi dimana-mana. Saat Munir memperdalam ilmunya untuk mengadvokasi orang-orang yang tidak berdaya, dia mati dibunuh dengan diracuni di pesawat Garuda, saat hendak berangkat ke Belanda.

Dari Uraian di atas, ada satu hal yang menjadi pertanyaan besar dalam pikiran saya, akankah perempuan terus menderita seperti ini, sepanjang hayatnya? Bagaimanakah nasib bangsa ini di masa yang akan datang? Akan dikemanakan kah bangsa ini nantinya? Ketika saya melihat bijaksananya perempuan saat menghadapai konflik, bagaimana perempuan bertahan dalam badai, dan bagaimana perempuan bertahan dan bagaimana perempuan survive, ketika konflik terjadi, merupakan sedikit titik awal pencerahan, menutupi kegalauan pikiran saya. Sorga di telapak kaki ibu, bnukan hanya sekedar pribahasa, tetapi juga kebenaran yang telah terbukti sepanjang hayat. Hal ini dapat kita lihat, bagaimana perempuan dengan sifat femininnya, kearifan dan kebijaksanaannya melakukan perannya untuk memulai perdagangan di wilayah konflik, walaupun masyarakat melihat peran mereka masih dalam lingkup yang lebih kecil. Sebagai contoh ketika terjadi konflik di ambon, ibu-ibu yang harus menghidupi keluarganya untuk mendapatkan makanan, pergi ke pasar di daerah perbatasan konflik, harus melakukan rekonsiliasi dengan ibu yang dari pihak bermusuhan di pasar, karena kedua belah pihak saling membutuhkan untuk kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya rekonsiliasi dapat terwujud dari kegiatan para ibu di pasar ini.

Pada hakekatnya peran perempuan sangat besar untuk mewujudkan perdamaian, tetapi selama ini peran perempuan dalam melakukan rekonsiliasi di wilayah konflik, sangat termarjinalisasi dan terabaikan. Hal ini dikarenakan ada anggapan bahwa peran politik, hukum dan lain sebagainya hanya dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan tidak tahu apa-apa. Ketika konflik terjadi di Indonesia, senantiasa yang dikedepankan adalah militerisme, yang identik dengan kekerasan. Dalam realitasnya sistem yang sepertiini bukan merupakan jalan keluar, tetapi menambah peliknya permasalahan yang dihadapi. Kita dapat melihat, ketika perempuan ambil peran, dengan sifat femininya konflik berangsur-angsur reda dan bahkan keadaan dapat pulih, akhirnya normal kembali. Begitu banyaknya hasil penelitian yang dapat kita baca dan kita pelajari, bagaimana perempuan melakukan upaya membangun peradamaian dim dunia, terutama di Indonesia. Politik yang selama ini dianggap hanya ranah laki-laki, ternyata tidak selamanya benar. Dalam membangun sebuah rekonsiliasi, peranan perempuan sangat penting untuk bernegosiasi, dengan demikian dalam membangun perdamaian yang namanya demokrasi, negosiasi dan diplomasi, juga perempuan harus berpartisipasi/ambil peran.

3. Pemulihan Bagi Perdamaian

Pemulihan, yang berasal dari kata pulih, suatu hal yang harus dilakukan, di tengah situasi yang porakporanda ini. Bencana yang tidak pernah berakhir, apakah itu konflik, bencana alam, atau yang lainnya, menjadikan manusia di Indonesia ini menderita bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara psikis, kekerasan yang terjadi dimana-mana, terutama di wilayah yang ditimpa bencana dan diwilayah konflik. Akibat dari bencana atau konflik, penderitaan, yangbberkepanjangan, khususnya bagi perempuan dan anak. Untuk mengatasi penderitaan ini, pemulihan merupakan pekerjaan yang tidak mudah dan sangat berat.

Kegiatan yang dilakukan di Quest for Global Healing, terutama Sessi Indonesia, mungkin merupakan salah satu kegiatan yang dapat direkomendasikan untuk pemulihan. Salah satunya, yang dapat dilakukan, dengan membangun solidaritas antar sesama terutama perempuan. Dengan cara sharing pengalaman, tukar informasi dan membangun pengertian dan pemahaman diantara sesama peserta, mungkin salah satu upaya meringankan beban. Dengan menceritakan problema yang kita hadapi, yang lain dapat memberikan dukungan dan mungkin jalan keluar yang dapat meringankan beban yang berat. Di sisi lain, korban mungkin merasa tidak sendirian dalam menghadapai persoalan berat yang menimpa dan dukungan menjadikan korban percaya diri dan merupakan pemberdayaanbagi diri korban, sehingga merasa mendapatkan power.

Di Quest for Global Healing, terutama di Sessi Seminar pagi hari, peserta begitu banyak memperoleh metode, untuk melakukan pemulihan, terutama untuk diri sendiri,karena pemulihan bangsa ini pada hakekatnya dimulai dari diri sendiri. Untuk hal-hal yang mungkin direkomendasikan untuk perdamaian adalah pemulihan yang dimulai dari individu, masyarakat, dan lingkup yang lebih luas lagi, bangsa dan negara, akhirnya dunia. Untuk tercapainya pemulihan dengan menghargai perbedaan baik itu perbedaan dalam hal agama, budaya, sosial, dan gender. Kenyataannya dalam relasi antara laki-laki dan perempuan, hampir di seluruh belahan bumi ini, perempuan tidak tetap memperoleh ketidakadilan. Perempuan senantiasa diperlakukan sesuai dengan kehendak kaum patiarkhi, mulai dari budaya, (apakah itu cara berpakaian, cara bertingkahlaku, dan lain sebagainya) agama, dan lain sebagainya. Perempuan tidak pernah menjadi dirinya sendiri, seakan-akan perempuan dapat senantiasa dapat berubah wujud sesuai dengan keinginan kaum patriarkhi, atau dengan kata lain, perempuan dapat diibaratkan dengan pemain yang terdapat dalam “film kartun”, yang senantiasa berubah sesuai dengan kehendak yang diinginkan kaum patriarkhi.

Pada dasarnya jika kita membahas relasi antara laki-laki dan perempuan, belum ada penghargaan terhadap perempuan. Belum adanya pengakuan akan pluralisme dan multikulturalisme perempuan, seringkali menjadi pemicu konflik. Seperti yang di gagas oleh PeacexPeace (Patricia, Linda, dkk), merupakan faktor pendorong untuk memotivasi bagaimana perempuan menggalang solidaritas untuk punya power. Perempuan memang harus punya power. Perempuan yang selama ini sudah dimiskinkan dalam segala hal, baik dalam kekuasaan uang selama ini memberikan ketidakadilan bagi perempuan, telah direbut oleh orang-orang yang tidak peduli, hanya mementingkan keserakahannya saja, yang menginginkan orang yang mempunyai kehendak untuk berkuasa atas segala kekayaan, sumberdaya, tanpa memperhitungkan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan.

Yang amat menyedihkan ialah kalau keserakahan itu didukung oleh kekuasaan dan atau kekuatan senjata. Banyak konflik bersenjata, yang tidak lepas dari berbagai usaha untuk mempertahankan berbagai kepentingan. Sesudah Perang Dunia ke II, sekitar 150 konflik yang mengakibatkan 23 juta orang mati, dan 18-24 jt orang menjadi pengungsi (Kompas, 8 November 2000, yang diuraikan dalam Buku Pegangan Bagi Promotor Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan, merupakan data-data yang dapat memberikan gambaran, betapa keserakahan menginjak-nginjak rasa keadilan, mengancam perdamaian dan menghancurkan alam.

“Pada tahun 1997, dalam Surat Gembala Prapaska, kami mengatakan “ada kemerosotan moral, hampir di segala bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan berbudaya, serta bernegara. Melihat dan menyaksikan apa yang terjadi sejak Pemilu 1999 sampai sekarang ini hanya ada kemerosotan moral saja atau sudah matikah moral adan etika yang seharusnya menjadi dasar kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara?”.

Kami menduga bahwa hal yang terakhir inilah yang menjadi sekutu kekacauan hidup sekarang ini, baik yang memuat dalam bentuk berbagai konflik dan kekerasan antara kelompok maupun macetnya kehidupan ekonomi dan politik, rusaknya peradilan dan tidak terjaminnya keamanan. Akar kekacauan hidup yang memprihatinkan secara mendalam dan menyeluruh ini terdapat di mana-mana, mulai di dalam masyarakat sendiri, para pelaku keuangan dan ekonomi, sampai dengan para penyelenggara negara dan keamanan, bahkan diantara wakil rakyat dan para penegak hukum (Surat Gembala Paska KWI, Paska 2001, Tekun dan Bertahan dalam Pengharapan: Menata Moralitas Bangsa, No.3, disarikan dari tulisan Mgr.Dr. I. Suharyo, Uskup Agung Semarang, Dosen Fakultas Teologi, Universitas Sanata Darma, dalam majalah Basis Nomor 05-06, Tahun ke-50, Mei-Juni 2000,hal.9-10).

Di sisi lain, konflik yang tiada berkesudahan senantiasa dipicu oleh macetnya pemahaman pluralisme dan multikulturalisme, terutama di Indonesia. Hal yang menambah pelik permasalahan, sehingga semakin sulit untuk mencari penyelesaian, tidak adanya penghargaan terhadap perbedaan agama, budaya, sosial, dan politik serta rasa menghargai antara laki-laki dan perempuan. Dengan adanya kegiatan Quest for Global Healing yang mengangkat tema Inspiring for World Renewal Avtion, apakah membawa perubahan-perubahan besar bagi setiap peserta yang datang dan apakah membawa perubahan untuk perdamaian dunia? Harapan ke depan bahwa kegiatan konfrensi ini, bukan hanya sebatas rethorika belaka, tetapi dalam implementasinya juga dapat diwujudkan.

Dalam dunia yang sedang bergerak menuju globalisasi, demi masyarakat yang semakin adil dan demi damai yang semakin stabil, organisasi-organisasi international mempunyai kewajiban mendesak untuk membantu menyebarkan rasa tanggung jawab bagi kesejahtraan bersama. Akan tetapi untuk mencapai hal ini, kita tidak lupa akan pribadi manusia, yang harus menjadi pusat seluruh usaha sosial. Hanya dengan demikian Perserikatan Bangsa-Bangsa akan menjadi keluarga bangsa-bangsa, sesuai dengan mandat awal untuk mendorong kemajuan sosial dan standar hidup yang lebih baik dalam kemerdekaan yang lebih luas (Mgr. Dr. I. Suharyo, Uskup Agung, Semarang, Dosen Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma, dalam Basis No.05-06, tahun ke-50, Mei-Juni 2000, hal.11).

Inilah jalan untuk membangun komunitas dunia yang dilandaskan pada kepercayaan, dukungan, dan rasa hormat yang tulus, satu terhadap yang lain. Pendek kata, tantangannya ialah menjamin terjadinya globalisasi dalam solidaritas, globalisasi tanpa marjinalisasi. Inilah tanggung jawab yang jelas demi keadilan, dengan implikasi-implikasi moral yang serius dalam organisasi-organisasi ekonomi, sosial, budaya dan kehidupan politik bangsa-bangsa (Yohannes Paulus II, From the Justice of each, comes peace for all, vatikan, 1997, No.3, dalam Basis No.05-06, tahun ke-50, Mei-Juni 2000, hal.11).

Quest for Global Healing yang merupakan global inspiring untuk merajut solidaritas dan kebersamaan, serta kekuatan untuk merajut globalisasi masyarakat yang semakin peduli keadilan dan terbangunnya perdamaian. Melalui konfrensi ini akan timbul sebuah pemahaman tentang perbedaan budaya, ras, sosial, sosial, politik, untuk menghilangkan stereotip negatif antara sesama. Disamping membangun komunikasi, juga kerjasama dalam menyelesaikan masalah, sehingga pada akhirnya prasangka buruk, misalnya terorism akan hilang dengan sendirinya dan perdamaian dunia dan keadilan akan terwujud seperti yang menjadi cita-cita hampir seluruh umat di dunia, dan sifat feminin menjadi dominasi di dunia, disamping peran perempuan yang kuat untuk menjadi agen perubahan di dunia ini.

4. Kesimpulan

* Dalam membangun suatu perdamaian, partisipasi perempuan, sangat penting, perempuan bukan hanya pendengar yang baik dalam setiap upaya-upaya rekonsiliasi, tetapi juga perempuan diikutsertakan dalam pengambilan keputusan.

* Kegiatan yang dilakukan seperti Quest for Global Healing, terutama Sessi indonesia, bukan hanya sebatas kegiatan berkumpul, tetapi rekomendasi yang sudah dibuat, dapat diimplementasikan menjadi suatu program yang berkelanjutan.

* Menghargai perbedaan, pluralisme dan multikulturalisme merupakan pendidikan yang harus dikembangkan terutama di Indonesia, untuk meminimalisir konflik. Selama ini stereotip yang negatif dibumbui dengan isu-isu Sara, oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, yang dengan perasaan bangga telah dapat menciptakan situasi yang memanas, konflik yang berkepanjangan, tanpa memperdulikan jatuhnya korban, akibat dari tidak ada pemahaman antara satu budaya dengan budaya yang lin dan terlalu menganungkan budaya sendiri, yang menimbulkan perangan.

* Advokasi kepada aparat hukum, sehingga akan terciptanya para penegak hukum, yang mempunyai prinsip menegakkan kebenaran dan keadilan, bukan prinsip materi/kekayaan yang menentukan kebenaran dan keadilan. Mafia peradilan yang selama ini berkembang di khasanah hukum Indonesia menjadikan aparat hukum tidak berani menindak tegas mereka yang menjadikan kesalahan menjadi satu kebenaran, mereka yang tidak bertanggungjawab terhadap terciptanya perdamaian di Indonesia. Di sisi lain, masyarakat juga tidak berani menyatakan kebenaran karena tidak adanya hukum yang melindungi bagi masyarakat yang mengungkapkan kebenaran dan keadilan, dengan kata lain tidak adanya Undang-Undang yang mengatur perlindungan nara sumber. Dengan adanya kepastian perlindungan hukum bagi orang-orang yang menyatakan kebenaran, maka semakin banyak kebenaran-kebenaran yang selama ini tidak pernah terangkat, hampir lenyap dan membusuk, karena tidak pernah diangkat ke permukaan.

* Hukum, politik, budaya yang maskulin, selama ini mendominasi khasanah berpikir masyarakat harus diimbangi/harus seimbang dengan hukum, politik, budaya yang feminin untuk meredakan dan meminimalisir konflik, dan membangun perdamaian.

Daftar Pustaka

Mial, Hugh, Oliver Romsbotham, Tomwoodhouse. Resolusi Damai Konflik Kontemporer : Menyelesaikan, Mencegah, Metode dan Menggugah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras. Divisi Buku Perguruan Tinggi, PT Raja Grafindo Persada-Jakata. 2000

Search for Commound Ground in Indonesia. Pengarusutamaan Gender Dalam Membangun Perdamaian. Kerangka Untuk Bertindak. Terjemahan dari naskah asli dengan judul : Mainstreaming Gender in Peace Building : A Frame Work For Action oleh Donna Pankhurst dan Sanam Anderlini. Terbitan International Alert 2002. Perempuan Membangun Perdamaian : Pengalaman Komunitas Hingga Meja Perundingan. Kerjasama Europian Union, Search for Commound Ground in Indonesia, International Allert. 2005.

Yaqin, Ainul, M.Ed. Pendidikan Multikultural. Cross-Cultural Understanding Untuk Demokrasi dan Keadilan. Pilar Media. Yogyakarta.2005

KONTRAST. Bunuh Munir! Sebuah Buku Putih.

Ditulis oleh SEPTARIA BANGUN untuk Buku Healing P3i

0 Comments:

Post a Comment

<< Home