PEREMPUAN: korban dan pembangkitan kesadaran (consciousness raising)
Oleh Elly Fardiana Latief
Tulisan ini akan analisis sekilas mengupas ketika perempuan menjadi korban dan proses pembangkitan kesadaran melalui kisah Christina Sumarmiyati. Hidup dalam penderitaan dan keterbatasan, yang akhirnya kemudian berani mengungkapkan pengalaman pahit dalam hidupnya kehadapan orang banyak, yang tidak dikenalnya. Berdasarkan makalah yang ditulis dan informasi lain yang mendukung. Ketika pembangkitan kesadaran diri terbentuk, korban menuntut hak sejatinya, dan memprotes “kebenaran” yang diciptakan oleh penguasa. Testimoni sebagai upaya menjelaskan kepada publik kebenaran yang sejati, meredefinikan realitas melalui penuturan pengalaman perempuan.
Pengalaman Ibu Christina Sumarmiyati yang mengalami pelecehan seksual, kekerasan fisik dan psikis membawa trauma yang ditanggungnya sampai sekarang[1]. Kilas balik masa lalu, sebagai pelajar yang aktif berorganisasi di Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) ketika muda, malah menjadi alasan dia ditangkap oleh “tentara” –perpanjangan rejim Orde Baru- yang menuduh aktivitasnya di organisasi pelajar itu berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia saat itu (baca: onderbouw). Bahkan lebih pedas lagi tuduhan bahwa karena aktif di organisasi tersebut disebut sebagai generasi muda yang suka merusak rumah tangga orang lain, komandan suatu pasukan perempuan yang tidak berharga dan rendah seperti pelacur. Penuturan cerita Ibu Christina Sumarmiyati menjelaskan bahwa beliau merupakan korban langsung[2], yang mana menjadi obyek tindakan seseorang/pihak berkaitan dengan peristiwa G30S. Atau meminjam istilah Maria Hartiningsih (2004) sebagai obyek yang realitasnya didefinisikan oleh kekuasaan dan masyarakat.
Proses pembangkitan kesadaran (consciousness raising) Bu Mamik (Christina Sumarmiyati) terbentuk melalui kumpulan dan diskusi yang memfasilitasi pembeberan kepahitan pengalaman hidupnya, yaitu ketika ia bersedia diminta Frater Dedi untuk menceritakan pengalamannya sebagai bahan diskusi di seminari Yogyakarta[3]. Ibu Mamik dengan sadar bersedia berbagi pengalaman hidupnya dengan orang lain. Walaupun dalam proses penyadaran diri ini melalui momen kontradiksi[4], yang mana satu sisi korban menuntut penuturan dan pembeberan fakta sedangkan di sisi lain korban berada dalam realitas traumatik. Momen kontradiksi ini terlihat ketika Bu Mamik merasa lega ketika dicabutnya persyaratan bebas G30S sebagai syarat menjadi anggota Paguyuban Simpan Pinjam. Lebih jelas dalam kutipan ….
“ Saya sangat berterima kasih dan lega, bahkan ada rasa puas. Sekarang bukan saatnya untuk menyembunyikan sikap berpihak pada orang yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir. Sekarang sudah waktunya untuk merealisasikan satunya kata dan perbuatan. Mengembalikan hak dan martabat kepada yang empunya.”
(Kelegaan itu merupakan tanda adanya rasa takut dan tertekan, trauma, dalam diri untuk diterima masyarakat karena stigma “anggota PKI” yang ada pada dirinya. Sedangkan dirinya menyadari akan pentingnya untuk menjelaskan kebenaran yang dialaminya kepada orang lain).
Kemudian semangat dan rasa untuk mencari kebenaran oleh Bu Mamik semakin kuat lagi dan termotivasi untuk terus mencoba mengurai kisah pahit hidupnya dengan masyarakat sekitar. Diantaranya ada kesempatan untuk melakukan kesaksian kepada orang banyak dalam acara keagamaan “panggilan iman”. Berbagi pengalaman dengan semangat yang optimis dan harapan dari kesaksian itu Bu Mamik ingin meretas belenggu yang memasung kehidupannya. Meminjam istilah dalam diskusi antara Maria dan Karlina dalam Hartinigsih (2004, h.159) yaitu moment of truth, terjadi ketika Bu Mamik menyadari dan tahu apa yang akan dilakukan, yang semuanya bermuara pada penegakan kebenaran dan pencarian keadilan. Moment of truth pada diri Bu Mamik terlihat ketika merasa tercambuk untuk lebih banyak lagi mengurai cerita pahit dalam hidupnya kepada lingkungan sekitar. Dan selalu semangat untuk berbagi cerita pahitnya dengan harapan orang banyak akan menerima kebenaran sejati. Sedangkan realitas yang ada hanya sebuah realitas yang didefinisikan oleh penguasa.
Pengalamannya ditangkap sebagai anggota organisasi pelajar yang dituduh onderbouw PKI tahun 1965, kemudian bebas, lalu kembali ditangkap dengan tuduhan seorang gerakan politik (gerpol) wanita. Pada masa itu perempuan yang mandiri dan berpikiran kritis menjadi “ancaman” bagi penguasa. Pemerintah Orde Baru menyebarkan tuduhan yang merendahkan moral dan martabat untuk perempuan yang berpikiran progresif dan kritis[5].
Kesadaran yang sekarang yaitu kesadaran akan realitas telah muncul, kemudian menuju pada titik kesadaran kritis yaitu sebuah kesadaran akan realitas dengan pemahaman akan konteks. Meminjam analisis Hartiningsih adalah kesadaran yang muncul dari kesadaran praktis ke kesadaran kritis untuk ikut dalam perubahan. Kesadaran praktis adalah kesadaran akan pengetahuan di depan mata, sedangkan kesadaran kritis adalah kesadaran akan pengetahuan untuk membedah struktur realitas, demikian Freire dalam Hartinigsih.
Jalan menuju kesadaran kritis itu prosesnya transformatif, perseptif dan tumbuh kesadaran. Bu Mamik sekarang dapat mendefinisikan kembali realitas berdasarkan pengetahuan yang dia kuasai. Dia berani mengatakan bahwa Rejim Orde Baru telah menyelewengkan kepercayaan rakyat Indonesia. Kesadaran seperti ini tidak dialami para korban 65 yang lain, ketika Bu Mamik mengajak teman-temannya ketika muda dulu, mereka tidak dengan serta merta mengikuti langkah perjuangan Bu Mamik. Mereka masih banyak menghadapi hambatan. Secara pribadi maupun struktural. Stigma PKI yang melekat kuat pada diri mereka tidak begitu saja dapat hilang dan menyemangati mereka untuk melawannya. Ketakutan, rasa tidak berani adalah traumatik yang dialami mereka, menjadi kendala yang menetap dan perlu disembuhkan terlebih dahulu “healing”, sebelum kemudian muncul kesadaran kritis seperti yang dialami Bu Mamik.
Dikaitkan dengan acara dalam Konferensi Quest for Global Healing, maka healing yang dimaksud adalah kesembuhan kesadaran. Atau kesadaran yang melalui proses “healing” yaitu lebih pada kesadaran spiritual yang dialami Bu Mamik. Ketika ia menyadari bahwa harta, kekayaan, derajat dan kedudukan serta kekuasaan bukanlah segala-galanya. Semua kekayaan tidak ada artinya bila tidak digunakan sebaik-baiknya. Semua yang ada di bumi ini digunakan dengan memuji dan memuliakan Sang Pencipta, karena dari Dialah semua yang kita terima.
Pengakuan di hadapan orang banyak yang tidak dikenal atau testimoni, merupakan langkah penting dalam rangkaian proses pembangkitan kesadaran ini. Melalui kegiatan ini banyak pihak yang memperhatikan, dan terjalinlah hubungan-hubungan dengan pihak lain, adanya perhatian dan pengakuan publik yang menegaskan penderitaannya. Oleh Hartiningsih (2004) dijelaskan bahwa melalui testimoni, pengalaman traumatik ditegaskan sebagai sesuatu yang nyata “real” terjadi sebagai akibat kekerasan politik, kemudian menghasilkan persekutuan antara korban dan kelompok masyarakat pendukung, betapapun terbatasnya (h.173).
Dalam Hartiningsih dijelaskan bahwa testimoni atau kesaksian dalam bahasa Amerika Latin testimonio, merupakan hal tindakan yang kritis dalam gerakan di Amerika Latin. Menjadi suatu metode untuk menciptakan pengertian politik mengenai identitas dan masyarakat. Testimoni merupakan bagian dari tindakan politik setelah seseorang mengalami proses pembangkitan kesadaran (consciousness raising). Testimoni dikerangkai oleh pandangan politik tentang bagaimana membagun pengetahuan melalui pengalaman pribadi dan merupakan tindakan kritis untuk meruntuhkan kategori esensiais, karena dalam testimoni orang dapat melihat pengalaman yang parallel –perbedaan-perbedaan yang dikonstruksi secara sosial dan politik menjadi tidak penting. Dalam proses testimoni yang personal menjadi amat sangat politik (h.171-172).
Dari analisis ringkas kisah Christina Sumamiyati ini, menjadi suatu tahapan yang dilalui ketika perempuan menjadi korban sampai kemudian bangkit kesadaran. Dan berniat menyebarkan realitas baru yang didefinisikan berdasarkan pengalamannya di hadapan orang banyak.
( Tulisan ini merupakan refleksi kegiatan Pusat Parstisipasi Perempuan Indonesia P3i yang mendukung upaya mencari kebenaran dan menciptakan perdamaian di dunia, khususnya di Indonesia).
***
[1] Pengalaman Ibu Christina Sumarmiyati lebih lengkap dapat dibaca dalam makalahnya di Bagian Dua buku ini.
[2] Pengembangan istilah yang muncul ketika memahami tulisan Maria Hartiningsih dalam tesisnya Pengalaman perempuan: solidaritas dengan cara berpolitik yang baru untuk menegakkan demokrasi, yang mendefiniskan ‘korban’ dalam pengertian keluarga korban, yang kehilangan anggota keluarga dalam suatu peristiwa yang kental dengan dimensi politik (2004).
[3] Sekilas analisis proses penyadaran diri (consciousness raising) ini berdasarkan makalah Christina Sumarmiyati, untuk analisis mendalam diperlukan penggalian data lebih lanjut.
[4] Meminjam istilah Karlina Supelli dalam tesis Maria Hartiningsih (2004, h.159).
[5] Masa itu organisasi perempuan yang terkenal berani dan berpikiran progresif adalah GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia). Dilandasi pemikiran kritis dalam perjuangannya, seperti memerangi kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Programnya antara lain kursus PBH (Pemberantasn Buta Huruf) agar semua rakyat melek huruf, mendirikan Taman Kanak-kanak dan berbagai kursus keterampilan untuk perempuan. GERWANI digembar-gemborkan sebagai pelacur tidak bermoral dan atheis. Gerwani identik dengan penyakit menular. Pengucilan bagi perempuan yang dituduh anggota Gerwani.
Tulisan ini akan analisis sekilas mengupas ketika perempuan menjadi korban dan proses pembangkitan kesadaran melalui kisah Christina Sumarmiyati. Hidup dalam penderitaan dan keterbatasan, yang akhirnya kemudian berani mengungkapkan pengalaman pahit dalam hidupnya kehadapan orang banyak, yang tidak dikenalnya. Berdasarkan makalah yang ditulis dan informasi lain yang mendukung. Ketika pembangkitan kesadaran diri terbentuk, korban menuntut hak sejatinya, dan memprotes “kebenaran” yang diciptakan oleh penguasa. Testimoni sebagai upaya menjelaskan kepada publik kebenaran yang sejati, meredefinikan realitas melalui penuturan pengalaman perempuan.
Pengalaman Ibu Christina Sumarmiyati yang mengalami pelecehan seksual, kekerasan fisik dan psikis membawa trauma yang ditanggungnya sampai sekarang[1]. Kilas balik masa lalu, sebagai pelajar yang aktif berorganisasi di Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) ketika muda, malah menjadi alasan dia ditangkap oleh “tentara” –perpanjangan rejim Orde Baru- yang menuduh aktivitasnya di organisasi pelajar itu berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia saat itu (baca: onderbouw). Bahkan lebih pedas lagi tuduhan bahwa karena aktif di organisasi tersebut disebut sebagai generasi muda yang suka merusak rumah tangga orang lain, komandan suatu pasukan perempuan yang tidak berharga dan rendah seperti pelacur. Penuturan cerita Ibu Christina Sumarmiyati menjelaskan bahwa beliau merupakan korban langsung[2], yang mana menjadi obyek tindakan seseorang/pihak berkaitan dengan peristiwa G30S. Atau meminjam istilah Maria Hartiningsih (2004) sebagai obyek yang realitasnya didefinisikan oleh kekuasaan dan masyarakat.
Proses pembangkitan kesadaran (consciousness raising) Bu Mamik (Christina Sumarmiyati) terbentuk melalui kumpulan dan diskusi yang memfasilitasi pembeberan kepahitan pengalaman hidupnya, yaitu ketika ia bersedia diminta Frater Dedi untuk menceritakan pengalamannya sebagai bahan diskusi di seminari Yogyakarta[3]. Ibu Mamik dengan sadar bersedia berbagi pengalaman hidupnya dengan orang lain. Walaupun dalam proses penyadaran diri ini melalui momen kontradiksi[4], yang mana satu sisi korban menuntut penuturan dan pembeberan fakta sedangkan di sisi lain korban berada dalam realitas traumatik. Momen kontradiksi ini terlihat ketika Bu Mamik merasa lega ketika dicabutnya persyaratan bebas G30S sebagai syarat menjadi anggota Paguyuban Simpan Pinjam. Lebih jelas dalam kutipan ….
“ Saya sangat berterima kasih dan lega, bahkan ada rasa puas. Sekarang bukan saatnya untuk menyembunyikan sikap berpihak pada orang yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir. Sekarang sudah waktunya untuk merealisasikan satunya kata dan perbuatan. Mengembalikan hak dan martabat kepada yang empunya.”
(Kelegaan itu merupakan tanda adanya rasa takut dan tertekan, trauma, dalam diri untuk diterima masyarakat karena stigma “anggota PKI” yang ada pada dirinya. Sedangkan dirinya menyadari akan pentingnya untuk menjelaskan kebenaran yang dialaminya kepada orang lain).
Kemudian semangat dan rasa untuk mencari kebenaran oleh Bu Mamik semakin kuat lagi dan termotivasi untuk terus mencoba mengurai kisah pahit hidupnya dengan masyarakat sekitar. Diantaranya ada kesempatan untuk melakukan kesaksian kepada orang banyak dalam acara keagamaan “panggilan iman”. Berbagi pengalaman dengan semangat yang optimis dan harapan dari kesaksian itu Bu Mamik ingin meretas belenggu yang memasung kehidupannya. Meminjam istilah dalam diskusi antara Maria dan Karlina dalam Hartinigsih (2004, h.159) yaitu moment of truth, terjadi ketika Bu Mamik menyadari dan tahu apa yang akan dilakukan, yang semuanya bermuara pada penegakan kebenaran dan pencarian keadilan. Moment of truth pada diri Bu Mamik terlihat ketika merasa tercambuk untuk lebih banyak lagi mengurai cerita pahit dalam hidupnya kepada lingkungan sekitar. Dan selalu semangat untuk berbagi cerita pahitnya dengan harapan orang banyak akan menerima kebenaran sejati. Sedangkan realitas yang ada hanya sebuah realitas yang didefinisikan oleh penguasa.
Pengalamannya ditangkap sebagai anggota organisasi pelajar yang dituduh onderbouw PKI tahun 1965, kemudian bebas, lalu kembali ditangkap dengan tuduhan seorang gerakan politik (gerpol) wanita. Pada masa itu perempuan yang mandiri dan berpikiran kritis menjadi “ancaman” bagi penguasa. Pemerintah Orde Baru menyebarkan tuduhan yang merendahkan moral dan martabat untuk perempuan yang berpikiran progresif dan kritis[5].
Kesadaran yang sekarang yaitu kesadaran akan realitas telah muncul, kemudian menuju pada titik kesadaran kritis yaitu sebuah kesadaran akan realitas dengan pemahaman akan konteks. Meminjam analisis Hartiningsih adalah kesadaran yang muncul dari kesadaran praktis ke kesadaran kritis untuk ikut dalam perubahan. Kesadaran praktis adalah kesadaran akan pengetahuan di depan mata, sedangkan kesadaran kritis adalah kesadaran akan pengetahuan untuk membedah struktur realitas, demikian Freire dalam Hartinigsih.
Jalan menuju kesadaran kritis itu prosesnya transformatif, perseptif dan tumbuh kesadaran. Bu Mamik sekarang dapat mendefinisikan kembali realitas berdasarkan pengetahuan yang dia kuasai. Dia berani mengatakan bahwa Rejim Orde Baru telah menyelewengkan kepercayaan rakyat Indonesia. Kesadaran seperti ini tidak dialami para korban 65 yang lain, ketika Bu Mamik mengajak teman-temannya ketika muda dulu, mereka tidak dengan serta merta mengikuti langkah perjuangan Bu Mamik. Mereka masih banyak menghadapi hambatan. Secara pribadi maupun struktural. Stigma PKI yang melekat kuat pada diri mereka tidak begitu saja dapat hilang dan menyemangati mereka untuk melawannya. Ketakutan, rasa tidak berani adalah traumatik yang dialami mereka, menjadi kendala yang menetap dan perlu disembuhkan terlebih dahulu “healing”, sebelum kemudian muncul kesadaran kritis seperti yang dialami Bu Mamik.
Dikaitkan dengan acara dalam Konferensi Quest for Global Healing, maka healing yang dimaksud adalah kesembuhan kesadaran. Atau kesadaran yang melalui proses “healing” yaitu lebih pada kesadaran spiritual yang dialami Bu Mamik. Ketika ia menyadari bahwa harta, kekayaan, derajat dan kedudukan serta kekuasaan bukanlah segala-galanya. Semua kekayaan tidak ada artinya bila tidak digunakan sebaik-baiknya. Semua yang ada di bumi ini digunakan dengan memuji dan memuliakan Sang Pencipta, karena dari Dialah semua yang kita terima.
Pengakuan di hadapan orang banyak yang tidak dikenal atau testimoni, merupakan langkah penting dalam rangkaian proses pembangkitan kesadaran ini. Melalui kegiatan ini banyak pihak yang memperhatikan, dan terjalinlah hubungan-hubungan dengan pihak lain, adanya perhatian dan pengakuan publik yang menegaskan penderitaannya. Oleh Hartiningsih (2004) dijelaskan bahwa melalui testimoni, pengalaman traumatik ditegaskan sebagai sesuatu yang nyata “real” terjadi sebagai akibat kekerasan politik, kemudian menghasilkan persekutuan antara korban dan kelompok masyarakat pendukung, betapapun terbatasnya (h.173).
Dalam Hartiningsih dijelaskan bahwa testimoni atau kesaksian dalam bahasa Amerika Latin testimonio, merupakan hal tindakan yang kritis dalam gerakan di Amerika Latin. Menjadi suatu metode untuk menciptakan pengertian politik mengenai identitas dan masyarakat. Testimoni merupakan bagian dari tindakan politik setelah seseorang mengalami proses pembangkitan kesadaran (consciousness raising). Testimoni dikerangkai oleh pandangan politik tentang bagaimana membagun pengetahuan melalui pengalaman pribadi dan merupakan tindakan kritis untuk meruntuhkan kategori esensiais, karena dalam testimoni orang dapat melihat pengalaman yang parallel –perbedaan-perbedaan yang dikonstruksi secara sosial dan politik menjadi tidak penting. Dalam proses testimoni yang personal menjadi amat sangat politik (h.171-172).
Dari analisis ringkas kisah Christina Sumamiyati ini, menjadi suatu tahapan yang dilalui ketika perempuan menjadi korban sampai kemudian bangkit kesadaran. Dan berniat menyebarkan realitas baru yang didefinisikan berdasarkan pengalamannya di hadapan orang banyak.
( Tulisan ini merupakan refleksi kegiatan Pusat Parstisipasi Perempuan Indonesia P3i yang mendukung upaya mencari kebenaran dan menciptakan perdamaian di dunia, khususnya di Indonesia).
***
[1] Pengalaman Ibu Christina Sumarmiyati lebih lengkap dapat dibaca dalam makalahnya di Bagian Dua buku ini.
[2] Pengembangan istilah yang muncul ketika memahami tulisan Maria Hartiningsih dalam tesisnya Pengalaman perempuan: solidaritas dengan cara berpolitik yang baru untuk menegakkan demokrasi, yang mendefiniskan ‘korban’ dalam pengertian keluarga korban, yang kehilangan anggota keluarga dalam suatu peristiwa yang kental dengan dimensi politik (2004).
[3] Sekilas analisis proses penyadaran diri (consciousness raising) ini berdasarkan makalah Christina Sumarmiyati, untuk analisis mendalam diperlukan penggalian data lebih lanjut.
[4] Meminjam istilah Karlina Supelli dalam tesis Maria Hartiningsih (2004, h.159).
[5] Masa itu organisasi perempuan yang terkenal berani dan berpikiran progresif adalah GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia). Dilandasi pemikiran kritis dalam perjuangannya, seperti memerangi kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Programnya antara lain kursus PBH (Pemberantasn Buta Huruf) agar semua rakyat melek huruf, mendirikan Taman Kanak-kanak dan berbagai kursus keterampilan untuk perempuan. GERWANI digembar-gemborkan sebagai pelacur tidak bermoral dan atheis. Gerwani identik dengan penyakit menular. Pengucilan bagi perempuan yang dituduh anggota Gerwani.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home