Perempuan, Takdirmu, Budayamu
Oleh : Septaria Elidalni Bangun
A. Latar Belakang
Seorang istri dibunuh oleh suaminya”hal inilah yang senantiasa dilihat di layar televisi, di koran dan hampir di segala media. Kekerasan lagi, kekerasan lagi, yang terjadi dalam kehidupan perempuan. Perempuan memang sangat rentan untuk mengalami kekerasan karena perempuan senantiasa ditempatkan di posisi tawar, baik itu dalam budaya, agama dan hampir dalam segala bidang, termasuk oleh negara.
Perempuan ibarat pepatah yang mengatakan sudah jatuh tertimpa tangga lagi. Perempuan sudah miskin, rentan pula terhadap kekerasan, apakah itu kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan karena dilanda konflik, kekerasan seksual karena perkosaan dan lain sebagainya. Perempuan sangat rentan terhadap kekerasan karena faktor budaya patriarki yang sangat berkaitan dengan kekuasaan, juga hukum yang belum berpihak kepada perempuan, demikian juga pendidikan yang masih lebih diprioritaskan pada laki-laki.
Kesenian merupakan salah satu unsur budaya yang universal. Hampir setiap masyarakat di dunia ini mempunyai kesenian dalam berbagai bentuk. Dalam kehidupan masyarakat dahulu, kesenian hampir selalu berkaitan dengan kehidupan manusia, karena kesenian hampir dapat dikatakan sangat berkaitan dengan hal-hal yang sakral, misalnya dalam upacara yang berkaitan dengan religi, pengobatan, perkawinan. Oleh karenanya kesenian itu dianggap masih mempunyai nilai-nilai yang mempersatukan, mengatur kehidupan dalam bermasyarakat, berkaitan dengan nilai-nilai, dan masih jauh dengan hal –hal yang berkaitan dengan kepentingan/politik/kekuasaan. Kesenian masih mempunyai kekuatan yang mengikat dalam kehidupan masyarakat. Tetapi saat ini, hal yang sangat menyedihkan, di zaman yang dikatakan modern ini, kesenian sudah banyak disusupi oleh hal-hal yang menyangkut kepentingan, politik, kekuasaan, sehingga kesenian itu tidak lagi mempunyai kekuatan untuk mengikat nilai-nilai yang ada dimasyarakat, dengan kata lain, kesenian tradisional itu menjadi lemah posisinya, karena dianggap sesuatu yang kuno, dan digeser oleh nilai-nilai yang dinyatakan modern.
Perubahan budaya yang berkaitan cara pandang masyarakat, tentang kesenian tradisional, juga dapat dikaitkan dengan kekerasan, apakah itu kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan yang terjadi karena konflik, dan sebagainya. Kekerasan terjadi karena dalam kehidupan manusia, kesakralan itu dianggap sebagai tahyul, baik itu dalam perkawinan, relasi antar sesama dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan lain sebagainya. Nilai-nilai yang membangun solidaritas, mempersatukan sudah tidak ada lagi, yang ada hanya ke-ika-an, dan kepentingan yang saling menguntungkan. Hal ini juga, dapat kita kaitkan antara budaya kekerasan dengan lahirnya UU Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga dibuat, pada hakekatnya upaya untuk memperkecil kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan. Undang-Undang ini telah lama dibuat dan telah lama disosialikan, serta mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit untuk ini. Tetapi kenyataannya sampai saat ini, kekerasan terhadap perempuan bukannya berkurang, tetapi malah menjadi bertambah banyak. Sepertinya lahirnya Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak begitu efektif untuk meminimalisasi kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan. Tetapi hal yang patut di dukung adalah UU anti KDRT merupakan salah satu upaya untuk memperkecil terjadinya KDRT.
Di banyak masyarakat, kesenian tradisional, merupakan sarana untuk mempropagandakan atau dapat juga mengkritik, apakah itu pemerintah, masyarakat , relasi antar sesama, termasuk juga laki-laki dan perempuan, atau dapat juga menjadi sarana, upaya perdamaian, serta dapat menjadi sarana sosialisasi dan rekonsiliasi. Ketika seorang seniman melakukan kritik, apakah itu melalui tarian, nyanyian, syair, yang dikritik tidak merasa sakit hati, karena bukan ditujukan langsung kepada perseorangan. Ada kalanya juga kesenian itu mengandung humor, juga sebagai hiburan. Karenanya, dalam banyak hal, kritik lewat kesenian lebih efektif dibandingkan dengan demontrasi, yang sering sekali menimbulkan hal-hal yang sifatnya anarkis.
Ketika upaya-upaya yang lain, misalnya UU Anti KDRT, demontrasi dengan cara turun ke jalan, atau melalui wakil rakyat tidak didengarkan lagi, tidak ada salahnya, kita mencoba utuk mengkampanyekan atau menyalurkan aspirasi suara perempuan melalui kesenian tradisional, yang ada di setiap masyarakat di dunia, terutama di Indonesia.
B. Kesenian Sebagai Sarana Pendidikan, Membangun Solidaritas dan Multikulturalisme Perempuan
Pendidikan merupakan sesuatu hal yang sangat penting dalam membangun sumber daya manusia. Pendidikan yang paling penting adalah yang bermula dari keluarga, karena segala sesuatunya dalam membangun watak dan prilaku dimulai di dalam keluarga. Selama ini anggapan masyarakat, bahwa pendidikan lebih kepada pemahaman akan pendidikan formal yakni sekolah, yang dimulai dari Play group, TK, SD, SMTP, SMU, serta universitas. Pada hakekatnya pendidikan yang ada dimasyarakat, di mana budaya yang selama ini, menjadi faktor penentunya, karena pendidikan yang seperti ini sudah sudah turun temurun, serta mengakar di masyarakat. Pendidikan yang seperti ini, sangat menentukan dan menjadi acuan dalam pembentukan watak dan bagaimana seseorang itu harus berprilaku. Pendidikan yang ada di masyarakat juga sangat mengacu kepada pembentukan nilai-nilai dan norma-norma yang ada di masyarakat. Ketika perubahan budaya terjadi, seperti asimilasi misalnya, dan budaya yang diserap, membawa dampak yang negatif, kemudian budaya yang seperti ini yang diturunkan, maka akan membawa dampak yang tidak baik pula.
Terkait dengan kemajemukan masyarakat di Indonesia, pendidikan multikultur sudah seharusnya merupakan hal yang sangat penting/urgent untuk dilakukan.
Seperti yang diutarakan oleh Irwan M, Hidayana, dalam tulisannya “Pendidikan Seksualitas dan Multikulturalisme”, dalam buku “Pendidikan Memang Multikultural, Beberapa Gagasan”, wacana multikulturalisme agaknya semakin menjadi salah satu agenda yang mendesak bagi Indonesia, seiring dengan meningkatnya ketegangan dan konflik yang bersifat horisontal, misalnya berdasarkan sentimen agama, etnis, ras, ataupun penguasaan sumber daya ekonomi atau politik- dan yang bersifat vertikal-misalnya akibat kebijakan publik dari pemerintah. Ketegangan dan konflik tersebut seringkali diwujudkan dengan bahasa kekerasan, utamanya kekerasan fisik. Mengembangkan wacana multikulturalisme dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk dapat dilakukan melalui jalur pendidikan kepada generasi muda, khususnya anak-anak dan remaja. Pendidikan dalam keluarga, pendidikan formal dan non formal (religius dan sekuler), maupun pendidikan populer melalui media massa, memegang peranan penting dalam penyebaran kesadaran multikultur (2002:195).
Membangun kesadaran multikultur dalam diri individu dan kolektif harus dilakukan sejak dini. Mengetahui, memahami, dan menyadari bahwa individu-individu atau kelompok-kelompok dalam suatu masyarakat berbeda satu sama lain, memerlukan suatu proses yang panjang. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana mengelola perbedaan-perbedaan yang ada agar tidak menimbulkan konflik dan kekerasan. Kekhasan budaya lokal, kelompok minoritas, keadilan dan kesetaraan, hak kolektif dan individual adalah beberapa isu multikultur yang perlu diperhatikan dalam pendidikan. Secara lebih spesifik, problem kesetaraan (equality) dalam ranah ras, etnisitas, gender, kelas, orientasi seksual, merupakan isu-isu utama multikulturalisme dibanyak negara (Hidayana, 2002:195-196).
Apabila pluralisme budaya menekankan akan pentingnya representasi dari kebudayaan-kebudayaan yang beragam di dalam mainstream suatu masyarakat, maka multikulturalisme tidak hanya menuntut representasi, tetapi juga penghormatan atau penghargaan bagi budaya-budaya yang beragam tersebut. Multikulturalisme berupaya mencapai keadilan, kesetaraan, dan kesamaan (parity) bagi setiap warga masyarakt. Oleh karena menyoroti persoalan disparitas sosial, maka masalah kekuasaan (power) menjadi amat penting dipersoalkan. Pluralisme budaya seringkali tidak mempersoalkan siapa yang berkuasa, tetapi multikulturalisme membawa peralihan paradigma dengan menantang status quo. Kekuasaan perlu redistribusikan agar kelompok mayoritas tidak lagi merupakan pihak tunggal yang mengontrol pemerintahan, pendidikan, hukum, bahasa, sumber daya alam, informasi, dan lain sebagainya (Hidayana, 2002:196).
Apabila dikaitkan dengan masalah perempuan, pendidikan multikultural merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Perempuan di Indonesia ini memang multikultur, tetapi dalam banyak hal, mereka mengalami permasalahan yang sama, terutama kekerasan. Hampir semua perempuan di dunia ini, terutama di Indonesia sangat rentan untuk mengalami kekerasan. Ketika kultur yang berbeda, tetapi apabila persoalan dan tantangan yang dihadapi sama, dapat meningkatkan solidaritas di kalangan perempuan dan dapat dijadikan sebagai awal pergerakan perempuan, dalam menentang kekerasan terhadap perempuan. Di sisi lain, ketika kesadaran akan perbedaan diantara laki-laki dan perempuan ada, maka akan menimbulkan saling menghargai atau tenggang rasa, yang kenudian akan berdampak kepada toleransi. Hal-hal yang seperti ini, dapat menumbuhkan sifat saling bekerjasama dan bukan merupakan perasaan bahwa laki-laki menganggap bahwa perempuan merebut kekuasaan laki-laki, tetapi lebih kepada jenjang kesetaraan yang akan menetapkan keadilan gender.
Melalui kesenian, hal ini dapat diwujudkan, karena melalui kesenian dapat diciptakan suatu pendidikan akan menghargai kemajemukan budaya, dimana kesenian yang beragam, merupakan gambaran dari masyarakat dan suku bangsa yang beragam, tentu saja memberikan gambaran watak dan sifat, serta prilaku yang beragam, pada manusianya dan lingkungannya, karena budaya merupakan cerminan yang membentuk manusianya.
Ketika kesadaran akan perbedaan timbul, bukan sifat etnosentrisme (dalam ilmu antropologi, yakni manusia memandang budaya lain berdasarkan budayanya sendiri) yang muncul, tetapi penghargaan akan perbedaan. Hal inilah yang menjadikan bahwa kebudayaan suatu masyarakat tidak lebih bagus dari budaya masyarakat yang lain, tetapi penyadaran akan setiap masyarakat mempunyai kekhasan budaya masing-masing. Dengan demikian Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi pandangan hidup bangsa kita, yakni Berbeda-beda tetapi tetap satu jua, akan dapat siwujudkan, untuk meminimalisasi konflik, baik dalam agama, politik, dan lain sebagainya, serta laki-laki dan perempuanuntuk meminimalisasi kekerasan, karena pada hakekatnya ketika konflik terjadi,apa pun itu bentuknya perempuan yang banyak menjadi korban.
C. Kesenian Sebagai Sarana Kampanye Anti Kekerasan, Realitas di Masyarakat
Tarian Mbuah Ko Page Dalam Masyarakat Karo
Tarian ini menggambarkan kegiatan mulai dari menabur benih, membajak sawah, menanam padi, memelihara padi, menjaganya dari gangguan burung, hama dan lainnya, sampai kepada menuai dan menyimpannya di lumbung padi, sampai kepada kegiatan menumbuk padi menjadi beras.
Tarian ini, biasanya dilakokan oleh muda-mudi yang berpasang-pasangan, yang disebut dengan aron (dalam kehidupan sehari-hari aron ini adalah kelompok yang bekerja di ladang atau di sawah, dan lain sebagainya, yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, dan pada umumnya mereka belum menikah. Kelompok ini dalam bekerja, melakukan pembayaran bukan dalam bentuk uang, tetapi dalam bentuk penggantian tenaga, diladang atau di sawang, dan lain sebagainya). Saat mulai dari menabur benih, muda-mudi ini berharap dan berdoa kepada Dibata (dalam masyarakat Karo, Tuhan di sebut Dibata) yang Maha Kuasa, supaya nantinya saat panen, padi ini menghasilkan berlipat ganda, sehingga dapat menjadi modal mereka untuk membangun sebuah rumah tangga yang bahagia.
Setelah panen selesai, biasanya dilanjutkan dengan kegiatan Kerja Tahun atau Pesta tahunan, yakni Ucapan sykur kepada Dibata yang Maha Kuasa, karena panen telah berhasil dan saat Kerja tahun ini diadakan yang namanya “Gendang Guro-Guro Aron, yakni kesenian tradisional, dimana merupakan wadah, yang bertujuan untuk mempertemukan muda-mudi supaya bertemu jodoh, yang secara adat memang dianggap baik/disukai/tidak sumbang. Dalam Gendang Guru-Guro Aron ini, biasanya muda-mudi yang menari, kadang kala ada juga yang menyanyi, sambil berkenalan. Dalam acara Gendang Guro-Guro Aron ini, ada sepasang; laki-laki dan perempuan, yang khusus bernyanyi dalam setiap tarian, kadang kala memberikan petuah-petuah kepada yang menari dan juga kepada yang menonton atau kepada siapa saja. Pasangan ini disebut Perkolong-Kolong. Pada Umumnya setiap Gendang Guro-Guro Aron, biasannya dibuka dengan Adu Perkolong-Kolong, setelah itu dilanjutkan dengan gendang adat dan kemudian dilanjutkan dengan muda-muda yang menari/gendang aron. Dalam Adu Perkolong-Kolong, secara umum, pasangan ini, saling mengkritik, apakah yang dikritik relasi antar perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sehari-hari, tokoh masyarakat, dan juga pemerintah/siapa saja. Tetapi karena penyampaiannya dalam bentuk humor dan menghibur, yang dikritik tidak merasa sakit hati atau tersinggung.
Ketika menari pun dalam Gendang Guro-Guro Aron ini, setiap muda-mudi tidak dapat mengambaikan adat, norma-norma dan nilai-nilai yang telah diatur dalam kehidupan masyarakat Karo, dan juga sopan-santun. Karenanya kesenian ini disamping mengedepankan keharmonisan dalam menari, keselerasan, tetapi juga menggambarkan bahwa dalam realitas kehidupan masyarakat karo, bahwa orang Karo mempunyai jiwa seni yang tinggi, bahasa dan kehidupan yang santun, lembut dan ramah tamah, serta penuh keakraban. Dalam Gendang Guro-Guro Aron ini, apabila ada seorang laki-laki yang berlaku tidak sopan, maka si laki-laki tersebut akan ditarik turus ke atas panggung oleh saudara laki-laki si perempuan, yang menjadi pasangannya atau kerabat si perempuan, yang dapat berakibat ke pertengkaran dan seringkali berakhir ke pembunuhan. Hal ini karena terjadi karena dianggap merendahkan nama baik keluarga seseorang.
Pada akhirnya suksesnya suatu acara Gendang Guro-Guro Aron ini, apabila setelah selesainya acara ini, ada pasangan yang melanjutkan ke jenjang berumah tangga (untuk jenjang berumah tangga, masih menjalani proses yang lebih panjang, dimana setelah berkenalan, mereka harus menjalani proses pacaran yang dalam bahasa Karo disebut ngerondong untuk mengenal lebih jauh antar pasangan, sampai merasa cocok benar, dalam membangun sebuah rumah tangga).
Seiring dengan perubahan zaman, dan masuknya kebudayaan Barat, kesenian tradisional Karo, juga banyak mengalami perubahan, misalnya dari alat musik yang selama ini Gendang, sarune, banyak berubah ke alat musik modern, yakni keyboard. Perubahan kesenian ini, juga berdampak kepada perubahan budaya, nilai-nilai, norma-norma yang dapat dilihat dari cara menari. Dahulu apa yang dianggap tidak sopan, tetapi saat sekarang, menjadi hal yang tidak masalah lagi. Saat sekarang ini, tari-tarian Karo banyak menggunakan lagu dangdut, misalnya sehingga cara menari juga banyak berubah ke acara dangdutan, dimana laki-laki dianggap menari dengan cara yang tidak memperdulikan nilai-nilai kesopanan, demikian juga dalam realitas kehidupan sehari-hari, relasi antara laki-laki dan perempuan banyak mengalami perubahan, baik relasi antar muda-mudi, maupun dalam rumah tangga.
Saat sekarang ini, dengan menjamurnya keyboard, untuk kalangan masyarakat yang sudah tua, tidak begitu suka, karena menurut mereka tidak ada lagi sopan-santun, di dalam kesenian ini. Misalnya seorang laki-laki yang sudah berumah tangga, dapat menari dengan seorang perempuan yang bukan pasanganya, yang menyebabkan sangat banyak terjadi perselingkuhan. Demikian juga banyaknya pasangan muda-mudi yang dianggap, kehidupan seksualitasnya sudah lebih bebas, dan juga dianggap melanggar aturan nilai-nilai di masyarakat Karo. Tetapi untuk kalangan orang-orang muda, keyboard ini sangat banyak digandrungi, karena dianggap lebih modern dan juga lebih bebas. Disamping itu, Gendang Guro-Guro Aron ini juga sudah banyak dipakai sebagai alat politik , dan juga sangat erat dengan kekuasaan/kepentingan elit politik, perseorangan atau kelompok.
Bagi masyarakat karo, saat sekarang ini, terutama mereka yang sudah tua, lebih berkeinginan untuk mengembalikan kesenian ini ke bentuknya yang asli/murni, supaya sesuai dengan fungsinya dan peranannya dalam mengatur tatanan kehidupan masyakarat Karo dan nilai-nilai, serta norma-norma, keharmonisan dan sopan-santun, yang telah lama dijalankan oleh masyarakat Karo, dan juga mempunyai kekuatan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat.
Hal yang saya gambarkan di atas ini, merupakan salah satu contoh, bagaimana kesenian tradisional, dapat menjadi sarana penyaluran aspirasi masyarakat dalam menyampaikan pendapat, dan di masyarakat lain juga misalnya di Ambon, dapat kita lihat bagaimana peran kesenian tradisional menjadi sarana untuk mempersatukan masyarakat yang berbeda agama, budaya, dalam membangun suatu rekonsialiasi. Ketika kesenian tradisional ini, tidak lagi mempunyai kekuatan yang mengikat bagi masyarakat, baik dalam tatanan nilai, norma-norma dan lain sebagainya, di mana yang mempunyai pengaruh besar adalah kekuasaan dan politik, maka konflik besar pun pecah di Ambon, yang lebih kepada isu Sara, karena masyarakat sudah tidak menghargai perbedaan/pluralitas dan multikulturalisme.
Bila di kaji dari sisi lain, memang hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa hampir setiap segi kehidupan, kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, itu masih belum terwujud, misalkan saja yang pernah saya cermati sebuah kesenian tardisional “Ronggeng” , dimana dalam kesenian ini, ketika perempuan dan laki-laki menari secara berpasangan, yang kadang kala si laki-laki yang memilih sendiri pasangan perempuannya untuk menari dengan cara menarik tangan perempuan dari tempat perempuan duduk, ketika menari si laki-laki memberikan uang berupa saweran kepada si perempuan dengan memasukkan uang tersebut ke BH/BRA perempuan, sambil menyentuh payudara si perempuan, dan hal yang sangat sering terjadi dalam “Ronggeng”, setelah menari, pasangan ini melanjutkannya dengan tidur bersama malam itu, yang berakhir kepada prostitusi.
Di sisi lain, dalam kehidupan kesenian tradisional, dianggap hal yang tidak wajar apabila perempuan menjadi seniman, karena seniman itu lebih kepada profesi laki-laki atau dunia publik, sementara perempuan dianggap lebih kepada kehidupan domestik. Satu hal yang selama ini, kontruksi sosial yang dibangun di masyarakat, ketika perempuan lebih banyak berkecimpung di luar rumah, dianggap perempuan itu telah mengabaikan tanggung jawabnya. Dalam banyak hal, perempuan itu merasa berdosa, apabila ia lebih banyak berkecimpung di luar rumah, karena ia merasa telah meninggalkan tanggung jawabnya sebagai ibu, yang bertugas mengurus anak dan rumah tangga.
Apabila kita amati saat sekarang ini, perempuan telah mulai banyak yang menekuni dunia seni, terutama seni tradisi. Permasalahan ini telah diangkat sebuah majalah Gong, peran perempuan telah banyak terekspose dalam dunia seni tradisi, demikian juga tulisan Jabatin Bangun, mengenai Gender di Seni Tradisi, Ideal dan Realitas dalam bukunya Perkara Tradisi, Pendidikan dan Manajemen Seni. Sekumpulan Esai. Tetapi satu hal yang harus kita bangkitkan, yaitu peran perempuan dalam kesenian tradisional, dimana perempuan yang selama ini dianggap tidak wajar berprofesi sebagai musisi, tetapi saat ini, kita harus berupaya menuju kesetaraan, dimana perempuan dan laki-laki punya hak yang sama, untuk berkreasi dalam dunia kesenian, terutama seni tradisi, dimana hampir saat ini sudah hampir sebagian besar punah, terancam dan terpinggirkan oleh kesenian barat yang dianggap lebih modern. Stereotipe, yang selama ini telah dibangun masyarakat, yakni peran perempuan di dunia domestik dan laki-laki di dunia publik, secara perlahan harus kita rubah, menuju keseteraan, di mana laki-laki dan perempuan haru8s dapat saling mendukung dan mengambil peran sesuai dengan porsinya, dan saling mengisi dan bekerjasama dalam kelebihan dan kekurangan, untuk hal-hal yang positif.
Harapan kita bersama, di masa yang akan datang, kesenian tradisional, bukan merupakan kesenian yang kuno, ketinggalan zaman, dan lain sebagainya, tetapi bagaimana, kita dapat berkreasi dengan kesenian tradisional, tanpa meninggalkan nilai-nilai positif yang dapat dimanfaatkan, dengan pandangan bahwa kesenian yang dari Barat, tidak selamanya lebih baik, dari kesenian kita. Disamping itu, bagaimana kita dapat membangkitkan dan merevitalisasi kesenian tradisional ini, menjadikannya sebagai sarana kampanye anti kekerasan terhadap perempuan, aspirasi dalam perjuangan Hak Asasi Manusia (HAM) dan menciptakan budaya feminin, bukan maskulin. Kita mungkin dapat belajar dari masyarakat Jepang, di mana teknologinya yang sangat mutakhir, canggih dan sangat maju, tetapi masyarakat Jepang dengan kedisiplinan yang sangat tinggi, tidak pernah meninggalkan kebudayaan tradisional mereka.
Pada masa-masa yang akan datang, perdamaian dapat terbangun dan menghargai pluralitas dan multikultural, dapat tercipta, kekerasan-kekerasan yang selama ini banyak terjadi, dapat diminimalisir, terkikis habis, sehingga demokrasi dapat diwujudkan, menuju masyarakat dan bangsa yang aman, terutama peran perempuan sebagai agen perdamaian sangat besar dan partisipasi perempuan dalam segala bidang lebih diperhintungkan dan lebih besar kesempatan yang diperoleh perempuan.
Kesimpulan Dan Penutup
Kesimpulan
Kesenian merupakan kebudayaan universal. Seluruh masyarakat di dunia ini mempunyai kesenian, tradisional. Kesenian sangat erat kaitannya dengan sistem nilai, budaya dan norma-norma yang ada di masyarakat. Di sisi lain, kesenian juga dapat menjadi sarana hiburan, bagi masyarakat dalam sela-sela aktifitas mereka.
Kesenian tradisional juga sering dipergunakan sebagai alat untuk menyalurkan aspirasi bagi masyakarat, dalam membangun demokrasi, untuk menyampaikan pendapat. Melalui kesenian, kita juga dapat memahami akan kmejemukan kebudayaan, masyarakat di dunia ini, terutama di Indonesia, untuk penyadaran akan saling menghargai perbedaan budaya dan masyarakat. Melalui kesenian, kita mengikis pandangan budaya sendiri lebih baik dari budaya orang lain, dengan kata lain, tidak memandang budaya orang lain dengan budaya diri sendiri. Pandang hidup yang kita pegang teguh “Bhineka Tunggal Ika/Berbeda-beda tetapi tetap satu jua, bukan hanya sebagai semboyan atau simbol belaka, tetapi bagaimana hal ini dapat terealisasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Membangun perdamaian/peacebuilding, dengan mengkampanyekan/ mempropagandakan budaya anti kekerasan, terutama anti kekerasan terhadap perempuan. Dengan demikian, konflik yang selama ini banyak terjadi, dimana yang paling menderita/korban karena konflik adalah perempuan, terminimalisir dan terkikis habis, sehingga terciptanya suasana aman, saling menghargai dalam perbedaan pendapat dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, yang pada akhirnya keadilan gender dapat diwujudkan.
Penutup
Saya berharap, tulisan ini dapat bermanfaat, baik bagi para akademisi, maupun masyarakat, untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan, terutama menambah pemahaman bagi masyarakat akan pentingnya kajian-kajian terhadap perempuan dalam pengalaman kehidupannya.
Saya menerima kritik dan saran, karena saya yakin tulisan ini masih banyak kekurangan, dan untuk perbaikan tulisan saya dimasa yang akan datang. Disamping itu, saya merasa tulisan ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut, untuk pembanguna perdamaian/peacebuilding di dunia, terutama di Indonesia.
Seperti lagu Badai Pasti Berlalu, hendaknya kekerasan yang selama ini banyak terjadi, terutama kekerasan terhadap perempuan, akan segera berlallu dari kehidupan kita.
SELAMAT MENYAMBUT HARI ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN.
Daftar Pustaka
Bangun, Jabatin. Perkara Tradisi, Pendidikan dan Manajemen Seni. Sekumpulan Essai. 2005. Penerbit Gong. Yogyakarta.
Gong Media, Seni dan Pendidikan Seni. Tradisi Mencintai Bumi. Gong Edisi 71/VII/2005. Penerbit Yayasan Media dan Seni Tradisi, ISSN 1411-576x. Yogyakarta.
Hidayana, Irwan M, Pendidikan Seksualitas dan Multikulturalisme, dalam buku Pendidikan Memang Multikultural, Beberapa Gagasan. 2005. Jakarta.
Search for Commoun Ground in Indonesia. Pengarusutamaan Gender Dalam Upaya Membangun Perdamaian, Kerangka Untuk Bertindak. Judul Asli: mainsteraming Gender in Peace Building : A Framework for Action. Ditulis oleh Donna Pankhurst and Sanam Anderlini. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh; Faye Scharlet. Tim Penyunting: Yuniyanti Chuzaifah, Noor Intan, Yooke Adelina, M.B. Wijaksana. Diterbitkan kerjasama Union
Catatan : Tulisan ini akan diterbitkan di Jurnal Pusat Data Informasi Perempuan Riau (PUSDATIN PUANRI) pada akhir Desember 2006
A. Latar Belakang
Seorang istri dibunuh oleh suaminya”hal inilah yang senantiasa dilihat di layar televisi, di koran dan hampir di segala media. Kekerasan lagi, kekerasan lagi, yang terjadi dalam kehidupan perempuan. Perempuan memang sangat rentan untuk mengalami kekerasan karena perempuan senantiasa ditempatkan di posisi tawar, baik itu dalam budaya, agama dan hampir dalam segala bidang, termasuk oleh negara.
Perempuan ibarat pepatah yang mengatakan sudah jatuh tertimpa tangga lagi. Perempuan sudah miskin, rentan pula terhadap kekerasan, apakah itu kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan karena dilanda konflik, kekerasan seksual karena perkosaan dan lain sebagainya. Perempuan sangat rentan terhadap kekerasan karena faktor budaya patriarki yang sangat berkaitan dengan kekuasaan, juga hukum yang belum berpihak kepada perempuan, demikian juga pendidikan yang masih lebih diprioritaskan pada laki-laki.
Kesenian merupakan salah satu unsur budaya yang universal. Hampir setiap masyarakat di dunia ini mempunyai kesenian dalam berbagai bentuk. Dalam kehidupan masyarakat dahulu, kesenian hampir selalu berkaitan dengan kehidupan manusia, karena kesenian hampir dapat dikatakan sangat berkaitan dengan hal-hal yang sakral, misalnya dalam upacara yang berkaitan dengan religi, pengobatan, perkawinan. Oleh karenanya kesenian itu dianggap masih mempunyai nilai-nilai yang mempersatukan, mengatur kehidupan dalam bermasyarakat, berkaitan dengan nilai-nilai, dan masih jauh dengan hal –hal yang berkaitan dengan kepentingan/politik/kekuasaan. Kesenian masih mempunyai kekuatan yang mengikat dalam kehidupan masyarakat. Tetapi saat ini, hal yang sangat menyedihkan, di zaman yang dikatakan modern ini, kesenian sudah banyak disusupi oleh hal-hal yang menyangkut kepentingan, politik, kekuasaan, sehingga kesenian itu tidak lagi mempunyai kekuatan untuk mengikat nilai-nilai yang ada dimasyarakat, dengan kata lain, kesenian tradisional itu menjadi lemah posisinya, karena dianggap sesuatu yang kuno, dan digeser oleh nilai-nilai yang dinyatakan modern.
Perubahan budaya yang berkaitan cara pandang masyarakat, tentang kesenian tradisional, juga dapat dikaitkan dengan kekerasan, apakah itu kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan yang terjadi karena konflik, dan sebagainya. Kekerasan terjadi karena dalam kehidupan manusia, kesakralan itu dianggap sebagai tahyul, baik itu dalam perkawinan, relasi antar sesama dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan lain sebagainya. Nilai-nilai yang membangun solidaritas, mempersatukan sudah tidak ada lagi, yang ada hanya ke-ika-an, dan kepentingan yang saling menguntungkan. Hal ini juga, dapat kita kaitkan antara budaya kekerasan dengan lahirnya UU Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga dibuat, pada hakekatnya upaya untuk memperkecil kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan. Undang-Undang ini telah lama dibuat dan telah lama disosialikan, serta mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit untuk ini. Tetapi kenyataannya sampai saat ini, kekerasan terhadap perempuan bukannya berkurang, tetapi malah menjadi bertambah banyak. Sepertinya lahirnya Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak begitu efektif untuk meminimalisasi kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan. Tetapi hal yang patut di dukung adalah UU anti KDRT merupakan salah satu upaya untuk memperkecil terjadinya KDRT.
Di banyak masyarakat, kesenian tradisional, merupakan sarana untuk mempropagandakan atau dapat juga mengkritik, apakah itu pemerintah, masyarakat , relasi antar sesama, termasuk juga laki-laki dan perempuan, atau dapat juga menjadi sarana, upaya perdamaian, serta dapat menjadi sarana sosialisasi dan rekonsiliasi. Ketika seorang seniman melakukan kritik, apakah itu melalui tarian, nyanyian, syair, yang dikritik tidak merasa sakit hati, karena bukan ditujukan langsung kepada perseorangan. Ada kalanya juga kesenian itu mengandung humor, juga sebagai hiburan. Karenanya, dalam banyak hal, kritik lewat kesenian lebih efektif dibandingkan dengan demontrasi, yang sering sekali menimbulkan hal-hal yang sifatnya anarkis.
Ketika upaya-upaya yang lain, misalnya UU Anti KDRT, demontrasi dengan cara turun ke jalan, atau melalui wakil rakyat tidak didengarkan lagi, tidak ada salahnya, kita mencoba utuk mengkampanyekan atau menyalurkan aspirasi suara perempuan melalui kesenian tradisional, yang ada di setiap masyarakat di dunia, terutama di Indonesia.
B. Kesenian Sebagai Sarana Pendidikan, Membangun Solidaritas dan Multikulturalisme Perempuan
Pendidikan merupakan sesuatu hal yang sangat penting dalam membangun sumber daya manusia. Pendidikan yang paling penting adalah yang bermula dari keluarga, karena segala sesuatunya dalam membangun watak dan prilaku dimulai di dalam keluarga. Selama ini anggapan masyarakat, bahwa pendidikan lebih kepada pemahaman akan pendidikan formal yakni sekolah, yang dimulai dari Play group, TK, SD, SMTP, SMU, serta universitas. Pada hakekatnya pendidikan yang ada dimasyarakat, di mana budaya yang selama ini, menjadi faktor penentunya, karena pendidikan yang seperti ini sudah sudah turun temurun, serta mengakar di masyarakat. Pendidikan yang seperti ini, sangat menentukan dan menjadi acuan dalam pembentukan watak dan bagaimana seseorang itu harus berprilaku. Pendidikan yang ada di masyarakat juga sangat mengacu kepada pembentukan nilai-nilai dan norma-norma yang ada di masyarakat. Ketika perubahan budaya terjadi, seperti asimilasi misalnya, dan budaya yang diserap, membawa dampak yang negatif, kemudian budaya yang seperti ini yang diturunkan, maka akan membawa dampak yang tidak baik pula.
Terkait dengan kemajemukan masyarakat di Indonesia, pendidikan multikultur sudah seharusnya merupakan hal yang sangat penting/urgent untuk dilakukan.
Seperti yang diutarakan oleh Irwan M, Hidayana, dalam tulisannya “Pendidikan Seksualitas dan Multikulturalisme”, dalam buku “Pendidikan Memang Multikultural, Beberapa Gagasan”, wacana multikulturalisme agaknya semakin menjadi salah satu agenda yang mendesak bagi Indonesia, seiring dengan meningkatnya ketegangan dan konflik yang bersifat horisontal, misalnya berdasarkan sentimen agama, etnis, ras, ataupun penguasaan sumber daya ekonomi atau politik- dan yang bersifat vertikal-misalnya akibat kebijakan publik dari pemerintah. Ketegangan dan konflik tersebut seringkali diwujudkan dengan bahasa kekerasan, utamanya kekerasan fisik. Mengembangkan wacana multikulturalisme dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk dapat dilakukan melalui jalur pendidikan kepada generasi muda, khususnya anak-anak dan remaja. Pendidikan dalam keluarga, pendidikan formal dan non formal (religius dan sekuler), maupun pendidikan populer melalui media massa, memegang peranan penting dalam penyebaran kesadaran multikultur (2002:195).
Membangun kesadaran multikultur dalam diri individu dan kolektif harus dilakukan sejak dini. Mengetahui, memahami, dan menyadari bahwa individu-individu atau kelompok-kelompok dalam suatu masyarakat berbeda satu sama lain, memerlukan suatu proses yang panjang. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana mengelola perbedaan-perbedaan yang ada agar tidak menimbulkan konflik dan kekerasan. Kekhasan budaya lokal, kelompok minoritas, keadilan dan kesetaraan, hak kolektif dan individual adalah beberapa isu multikultur yang perlu diperhatikan dalam pendidikan. Secara lebih spesifik, problem kesetaraan (equality) dalam ranah ras, etnisitas, gender, kelas, orientasi seksual, merupakan isu-isu utama multikulturalisme dibanyak negara (Hidayana, 2002:195-196).
Apabila pluralisme budaya menekankan akan pentingnya representasi dari kebudayaan-kebudayaan yang beragam di dalam mainstream suatu masyarakat, maka multikulturalisme tidak hanya menuntut representasi, tetapi juga penghormatan atau penghargaan bagi budaya-budaya yang beragam tersebut. Multikulturalisme berupaya mencapai keadilan, kesetaraan, dan kesamaan (parity) bagi setiap warga masyarakt. Oleh karena menyoroti persoalan disparitas sosial, maka masalah kekuasaan (power) menjadi amat penting dipersoalkan. Pluralisme budaya seringkali tidak mempersoalkan siapa yang berkuasa, tetapi multikulturalisme membawa peralihan paradigma dengan menantang status quo. Kekuasaan perlu redistribusikan agar kelompok mayoritas tidak lagi merupakan pihak tunggal yang mengontrol pemerintahan, pendidikan, hukum, bahasa, sumber daya alam, informasi, dan lain sebagainya (Hidayana, 2002:196).
Apabila dikaitkan dengan masalah perempuan, pendidikan multikultural merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Perempuan di Indonesia ini memang multikultur, tetapi dalam banyak hal, mereka mengalami permasalahan yang sama, terutama kekerasan. Hampir semua perempuan di dunia ini, terutama di Indonesia sangat rentan untuk mengalami kekerasan. Ketika kultur yang berbeda, tetapi apabila persoalan dan tantangan yang dihadapi sama, dapat meningkatkan solidaritas di kalangan perempuan dan dapat dijadikan sebagai awal pergerakan perempuan, dalam menentang kekerasan terhadap perempuan. Di sisi lain, ketika kesadaran akan perbedaan diantara laki-laki dan perempuan ada, maka akan menimbulkan saling menghargai atau tenggang rasa, yang kenudian akan berdampak kepada toleransi. Hal-hal yang seperti ini, dapat menumbuhkan sifat saling bekerjasama dan bukan merupakan perasaan bahwa laki-laki menganggap bahwa perempuan merebut kekuasaan laki-laki, tetapi lebih kepada jenjang kesetaraan yang akan menetapkan keadilan gender.
Melalui kesenian, hal ini dapat diwujudkan, karena melalui kesenian dapat diciptakan suatu pendidikan akan menghargai kemajemukan budaya, dimana kesenian yang beragam, merupakan gambaran dari masyarakat dan suku bangsa yang beragam, tentu saja memberikan gambaran watak dan sifat, serta prilaku yang beragam, pada manusianya dan lingkungannya, karena budaya merupakan cerminan yang membentuk manusianya.
Ketika kesadaran akan perbedaan timbul, bukan sifat etnosentrisme (dalam ilmu antropologi, yakni manusia memandang budaya lain berdasarkan budayanya sendiri) yang muncul, tetapi penghargaan akan perbedaan. Hal inilah yang menjadikan bahwa kebudayaan suatu masyarakat tidak lebih bagus dari budaya masyarakat yang lain, tetapi penyadaran akan setiap masyarakat mempunyai kekhasan budaya masing-masing. Dengan demikian Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi pandangan hidup bangsa kita, yakni Berbeda-beda tetapi tetap satu jua, akan dapat siwujudkan, untuk meminimalisasi konflik, baik dalam agama, politik, dan lain sebagainya, serta laki-laki dan perempuanuntuk meminimalisasi kekerasan, karena pada hakekatnya ketika konflik terjadi,apa pun itu bentuknya perempuan yang banyak menjadi korban.
C. Kesenian Sebagai Sarana Kampanye Anti Kekerasan, Realitas di Masyarakat
Tarian Mbuah Ko Page Dalam Masyarakat Karo
Tarian ini menggambarkan kegiatan mulai dari menabur benih, membajak sawah, menanam padi, memelihara padi, menjaganya dari gangguan burung, hama dan lainnya, sampai kepada menuai dan menyimpannya di lumbung padi, sampai kepada kegiatan menumbuk padi menjadi beras.
Tarian ini, biasanya dilakokan oleh muda-mudi yang berpasang-pasangan, yang disebut dengan aron (dalam kehidupan sehari-hari aron ini adalah kelompok yang bekerja di ladang atau di sawah, dan lain sebagainya, yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, dan pada umumnya mereka belum menikah. Kelompok ini dalam bekerja, melakukan pembayaran bukan dalam bentuk uang, tetapi dalam bentuk penggantian tenaga, diladang atau di sawang, dan lain sebagainya). Saat mulai dari menabur benih, muda-mudi ini berharap dan berdoa kepada Dibata (dalam masyarakat Karo, Tuhan di sebut Dibata) yang Maha Kuasa, supaya nantinya saat panen, padi ini menghasilkan berlipat ganda, sehingga dapat menjadi modal mereka untuk membangun sebuah rumah tangga yang bahagia.
Setelah panen selesai, biasanya dilanjutkan dengan kegiatan Kerja Tahun atau Pesta tahunan, yakni Ucapan sykur kepada Dibata yang Maha Kuasa, karena panen telah berhasil dan saat Kerja tahun ini diadakan yang namanya “Gendang Guro-Guro Aron, yakni kesenian tradisional, dimana merupakan wadah, yang bertujuan untuk mempertemukan muda-mudi supaya bertemu jodoh, yang secara adat memang dianggap baik/disukai/tidak sumbang. Dalam Gendang Guru-Guro Aron ini, biasanya muda-mudi yang menari, kadang kala ada juga yang menyanyi, sambil berkenalan. Dalam acara Gendang Guro-Guro Aron ini, ada sepasang; laki-laki dan perempuan, yang khusus bernyanyi dalam setiap tarian, kadang kala memberikan petuah-petuah kepada yang menari dan juga kepada yang menonton atau kepada siapa saja. Pasangan ini disebut Perkolong-Kolong. Pada Umumnya setiap Gendang Guro-Guro Aron, biasannya dibuka dengan Adu Perkolong-Kolong, setelah itu dilanjutkan dengan gendang adat dan kemudian dilanjutkan dengan muda-muda yang menari/gendang aron. Dalam Adu Perkolong-Kolong, secara umum, pasangan ini, saling mengkritik, apakah yang dikritik relasi antar perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sehari-hari, tokoh masyarakat, dan juga pemerintah/siapa saja. Tetapi karena penyampaiannya dalam bentuk humor dan menghibur, yang dikritik tidak merasa sakit hati atau tersinggung.
Ketika menari pun dalam Gendang Guro-Guro Aron ini, setiap muda-mudi tidak dapat mengambaikan adat, norma-norma dan nilai-nilai yang telah diatur dalam kehidupan masyarakat Karo, dan juga sopan-santun. Karenanya kesenian ini disamping mengedepankan keharmonisan dalam menari, keselerasan, tetapi juga menggambarkan bahwa dalam realitas kehidupan masyarakat karo, bahwa orang Karo mempunyai jiwa seni yang tinggi, bahasa dan kehidupan yang santun, lembut dan ramah tamah, serta penuh keakraban. Dalam Gendang Guro-Guro Aron ini, apabila ada seorang laki-laki yang berlaku tidak sopan, maka si laki-laki tersebut akan ditarik turus ke atas panggung oleh saudara laki-laki si perempuan, yang menjadi pasangannya atau kerabat si perempuan, yang dapat berakibat ke pertengkaran dan seringkali berakhir ke pembunuhan. Hal ini karena terjadi karena dianggap merendahkan nama baik keluarga seseorang.
Pada akhirnya suksesnya suatu acara Gendang Guro-Guro Aron ini, apabila setelah selesainya acara ini, ada pasangan yang melanjutkan ke jenjang berumah tangga (untuk jenjang berumah tangga, masih menjalani proses yang lebih panjang, dimana setelah berkenalan, mereka harus menjalani proses pacaran yang dalam bahasa Karo disebut ngerondong untuk mengenal lebih jauh antar pasangan, sampai merasa cocok benar, dalam membangun sebuah rumah tangga).
Seiring dengan perubahan zaman, dan masuknya kebudayaan Barat, kesenian tradisional Karo, juga banyak mengalami perubahan, misalnya dari alat musik yang selama ini Gendang, sarune, banyak berubah ke alat musik modern, yakni keyboard. Perubahan kesenian ini, juga berdampak kepada perubahan budaya, nilai-nilai, norma-norma yang dapat dilihat dari cara menari. Dahulu apa yang dianggap tidak sopan, tetapi saat sekarang, menjadi hal yang tidak masalah lagi. Saat sekarang ini, tari-tarian Karo banyak menggunakan lagu dangdut, misalnya sehingga cara menari juga banyak berubah ke acara dangdutan, dimana laki-laki dianggap menari dengan cara yang tidak memperdulikan nilai-nilai kesopanan, demikian juga dalam realitas kehidupan sehari-hari, relasi antara laki-laki dan perempuan banyak mengalami perubahan, baik relasi antar muda-mudi, maupun dalam rumah tangga.
Saat sekarang ini, dengan menjamurnya keyboard, untuk kalangan masyarakat yang sudah tua, tidak begitu suka, karena menurut mereka tidak ada lagi sopan-santun, di dalam kesenian ini. Misalnya seorang laki-laki yang sudah berumah tangga, dapat menari dengan seorang perempuan yang bukan pasanganya, yang menyebabkan sangat banyak terjadi perselingkuhan. Demikian juga banyaknya pasangan muda-mudi yang dianggap, kehidupan seksualitasnya sudah lebih bebas, dan juga dianggap melanggar aturan nilai-nilai di masyarakat Karo. Tetapi untuk kalangan orang-orang muda, keyboard ini sangat banyak digandrungi, karena dianggap lebih modern dan juga lebih bebas. Disamping itu, Gendang Guro-Guro Aron ini juga sudah banyak dipakai sebagai alat politik , dan juga sangat erat dengan kekuasaan/kepentingan elit politik, perseorangan atau kelompok.
Bagi masyarakat karo, saat sekarang ini, terutama mereka yang sudah tua, lebih berkeinginan untuk mengembalikan kesenian ini ke bentuknya yang asli/murni, supaya sesuai dengan fungsinya dan peranannya dalam mengatur tatanan kehidupan masyakarat Karo dan nilai-nilai, serta norma-norma, keharmonisan dan sopan-santun, yang telah lama dijalankan oleh masyarakat Karo, dan juga mempunyai kekuatan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat.
Hal yang saya gambarkan di atas ini, merupakan salah satu contoh, bagaimana kesenian tradisional, dapat menjadi sarana penyaluran aspirasi masyarakat dalam menyampaikan pendapat, dan di masyarakat lain juga misalnya di Ambon, dapat kita lihat bagaimana peran kesenian tradisional menjadi sarana untuk mempersatukan masyarakat yang berbeda agama, budaya, dalam membangun suatu rekonsialiasi. Ketika kesenian tradisional ini, tidak lagi mempunyai kekuatan yang mengikat bagi masyarakat, baik dalam tatanan nilai, norma-norma dan lain sebagainya, di mana yang mempunyai pengaruh besar adalah kekuasaan dan politik, maka konflik besar pun pecah di Ambon, yang lebih kepada isu Sara, karena masyarakat sudah tidak menghargai perbedaan/pluralitas dan multikulturalisme.
Bila di kaji dari sisi lain, memang hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa hampir setiap segi kehidupan, kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, itu masih belum terwujud, misalkan saja yang pernah saya cermati sebuah kesenian tardisional “Ronggeng” , dimana dalam kesenian ini, ketika perempuan dan laki-laki menari secara berpasangan, yang kadang kala si laki-laki yang memilih sendiri pasangan perempuannya untuk menari dengan cara menarik tangan perempuan dari tempat perempuan duduk, ketika menari si laki-laki memberikan uang berupa saweran kepada si perempuan dengan memasukkan uang tersebut ke BH/BRA perempuan, sambil menyentuh payudara si perempuan, dan hal yang sangat sering terjadi dalam “Ronggeng”, setelah menari, pasangan ini melanjutkannya dengan tidur bersama malam itu, yang berakhir kepada prostitusi.
Di sisi lain, dalam kehidupan kesenian tradisional, dianggap hal yang tidak wajar apabila perempuan menjadi seniman, karena seniman itu lebih kepada profesi laki-laki atau dunia publik, sementara perempuan dianggap lebih kepada kehidupan domestik. Satu hal yang selama ini, kontruksi sosial yang dibangun di masyarakat, ketika perempuan lebih banyak berkecimpung di luar rumah, dianggap perempuan itu telah mengabaikan tanggung jawabnya. Dalam banyak hal, perempuan itu merasa berdosa, apabila ia lebih banyak berkecimpung di luar rumah, karena ia merasa telah meninggalkan tanggung jawabnya sebagai ibu, yang bertugas mengurus anak dan rumah tangga.
Apabila kita amati saat sekarang ini, perempuan telah mulai banyak yang menekuni dunia seni, terutama seni tradisi. Permasalahan ini telah diangkat sebuah majalah Gong, peran perempuan telah banyak terekspose dalam dunia seni tradisi, demikian juga tulisan Jabatin Bangun, mengenai Gender di Seni Tradisi, Ideal dan Realitas dalam bukunya Perkara Tradisi, Pendidikan dan Manajemen Seni. Sekumpulan Esai. Tetapi satu hal yang harus kita bangkitkan, yaitu peran perempuan dalam kesenian tradisional, dimana perempuan yang selama ini dianggap tidak wajar berprofesi sebagai musisi, tetapi saat ini, kita harus berupaya menuju kesetaraan, dimana perempuan dan laki-laki punya hak yang sama, untuk berkreasi dalam dunia kesenian, terutama seni tradisi, dimana hampir saat ini sudah hampir sebagian besar punah, terancam dan terpinggirkan oleh kesenian barat yang dianggap lebih modern. Stereotipe, yang selama ini telah dibangun masyarakat, yakni peran perempuan di dunia domestik dan laki-laki di dunia publik, secara perlahan harus kita rubah, menuju keseteraan, di mana laki-laki dan perempuan haru8s dapat saling mendukung dan mengambil peran sesuai dengan porsinya, dan saling mengisi dan bekerjasama dalam kelebihan dan kekurangan, untuk hal-hal yang positif.
Harapan kita bersama, di masa yang akan datang, kesenian tradisional, bukan merupakan kesenian yang kuno, ketinggalan zaman, dan lain sebagainya, tetapi bagaimana, kita dapat berkreasi dengan kesenian tradisional, tanpa meninggalkan nilai-nilai positif yang dapat dimanfaatkan, dengan pandangan bahwa kesenian yang dari Barat, tidak selamanya lebih baik, dari kesenian kita. Disamping itu, bagaimana kita dapat membangkitkan dan merevitalisasi kesenian tradisional ini, menjadikannya sebagai sarana kampanye anti kekerasan terhadap perempuan, aspirasi dalam perjuangan Hak Asasi Manusia (HAM) dan menciptakan budaya feminin, bukan maskulin. Kita mungkin dapat belajar dari masyarakat Jepang, di mana teknologinya yang sangat mutakhir, canggih dan sangat maju, tetapi masyarakat Jepang dengan kedisiplinan yang sangat tinggi, tidak pernah meninggalkan kebudayaan tradisional mereka.
Pada masa-masa yang akan datang, perdamaian dapat terbangun dan menghargai pluralitas dan multikultural, dapat tercipta, kekerasan-kekerasan yang selama ini banyak terjadi, dapat diminimalisir, terkikis habis, sehingga demokrasi dapat diwujudkan, menuju masyarakat dan bangsa yang aman, terutama peran perempuan sebagai agen perdamaian sangat besar dan partisipasi perempuan dalam segala bidang lebih diperhintungkan dan lebih besar kesempatan yang diperoleh perempuan.
Kesimpulan Dan Penutup
Kesimpulan
Kesenian merupakan kebudayaan universal. Seluruh masyarakat di dunia ini mempunyai kesenian, tradisional. Kesenian sangat erat kaitannya dengan sistem nilai, budaya dan norma-norma yang ada di masyarakat. Di sisi lain, kesenian juga dapat menjadi sarana hiburan, bagi masyarakat dalam sela-sela aktifitas mereka.
Kesenian tradisional juga sering dipergunakan sebagai alat untuk menyalurkan aspirasi bagi masyakarat, dalam membangun demokrasi, untuk menyampaikan pendapat. Melalui kesenian, kita juga dapat memahami akan kmejemukan kebudayaan, masyarakat di dunia ini, terutama di Indonesia, untuk penyadaran akan saling menghargai perbedaan budaya dan masyarakat. Melalui kesenian, kita mengikis pandangan budaya sendiri lebih baik dari budaya orang lain, dengan kata lain, tidak memandang budaya orang lain dengan budaya diri sendiri. Pandang hidup yang kita pegang teguh “Bhineka Tunggal Ika/Berbeda-beda tetapi tetap satu jua, bukan hanya sebagai semboyan atau simbol belaka, tetapi bagaimana hal ini dapat terealisasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Membangun perdamaian/peacebuilding, dengan mengkampanyekan/ mempropagandakan budaya anti kekerasan, terutama anti kekerasan terhadap perempuan. Dengan demikian, konflik yang selama ini banyak terjadi, dimana yang paling menderita/korban karena konflik adalah perempuan, terminimalisir dan terkikis habis, sehingga terciptanya suasana aman, saling menghargai dalam perbedaan pendapat dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, yang pada akhirnya keadilan gender dapat diwujudkan.
Penutup
Saya berharap, tulisan ini dapat bermanfaat, baik bagi para akademisi, maupun masyarakat, untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan, terutama menambah pemahaman bagi masyarakat akan pentingnya kajian-kajian terhadap perempuan dalam pengalaman kehidupannya.
Saya menerima kritik dan saran, karena saya yakin tulisan ini masih banyak kekurangan, dan untuk perbaikan tulisan saya dimasa yang akan datang. Disamping itu, saya merasa tulisan ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut, untuk pembanguna perdamaian/peacebuilding di dunia, terutama di Indonesia.
Seperti lagu Badai Pasti Berlalu, hendaknya kekerasan yang selama ini banyak terjadi, terutama kekerasan terhadap perempuan, akan segera berlallu dari kehidupan kita.
SELAMAT MENYAMBUT HARI ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN.
Daftar Pustaka
Bangun, Jabatin. Perkara Tradisi, Pendidikan dan Manajemen Seni. Sekumpulan Essai. 2005. Penerbit Gong. Yogyakarta.
Gong Media, Seni dan Pendidikan Seni. Tradisi Mencintai Bumi. Gong Edisi 71/VII/2005. Penerbit Yayasan Media dan Seni Tradisi, ISSN 1411-576x. Yogyakarta.
Hidayana, Irwan M, Pendidikan Seksualitas dan Multikulturalisme, dalam buku Pendidikan Memang Multikultural, Beberapa Gagasan. 2005. Jakarta.
Search for Commoun Ground in Indonesia. Pengarusutamaan Gender Dalam Upaya Membangun Perdamaian, Kerangka Untuk Bertindak. Judul Asli: mainsteraming Gender in Peace Building : A Framework for Action. Ditulis oleh Donna Pankhurst and Sanam Anderlini. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh; Faye Scharlet. Tim Penyunting: Yuniyanti Chuzaifah, Noor Intan, Yooke Adelina, M.B. Wijaksana. Diterbitkan kerjasama Union
Catatan : Tulisan ini akan diterbitkan di Jurnal Pusat Data Informasi Perempuan Riau (PUSDATIN PUANRI) pada akhir Desember 2006
0 Comments:
Post a Comment
<< Home