Tiga Susiyati
Udara panas menyengat membuat sekujur tubuh Susiyati basah oleh keringat. Wanita berumur di awal 20 tahun itu terus menyeka keringat di dahinya dengan mulut yang tiada henti mengumpat dan menyumpahi pemilik pabrik elektronik tempatnya bekerja.
“Kita benar-benar sial ditempatkan bekerja di sini. Datuk gila itu tega benar membuat kita terpanggang hidup-hidup di sini. Dia pelit sekali sampai tidak mau membelikan kita pendingin ruangan untuk mengganti kipas tua berisik itu.”
Umpatannya yang tajam hanya didengarkan sambil lalu saja oleh teman-temannya dan hal ini membuat amarahnya meletup-letup, tak bisa diajak berkompromi.
“Hei, kalian dengar tidak, apa yang aku katakan tadi. Kenapa kalian takut sekali sih berbicara jujur di tempat ini.”
“Kami bukannya tidak berani berkata jujur tetapi kau harus tahu bahwa saat ini bukanlah saat yang tepat untuk mengutarakan segala kekesalanmu. Kita sedang bekerja dan kita sedang diawasi oleh para mandor. Sedikit saja kau berulah apalagi kalau ulahmu ketahuan tentu bukan hanya menyulitkanmu saja tetapi juga menyulitkan kami semua. Sekarang diamlah. Jangan sampai karena kau terlalu sering berpidato dan mengabaikan pekerjaan dihadapanmu, gajimu dipotong lagi.” cetus Masitoh, rekan Susiyati yang sudah bekerja menjadi buruh pabrik di Sarawak selama delapan tahun.
“Baiklah, Mbak.” ucap Susiyati dengan nada kesal.
Susiyati melanjutkan pekerjaannya merangkai komponen elektronik sebagai bahan pembuat televisi dengan raut wajah murung. Sampai saat ini dia tidak habis pikir betapa bodoh dirinya karena mau menyetujui tawaran Parjiyo, tetangganya yang mengaku bekerja di sebuah agen penyalur tenaga kerja di Semarang, untuk berangkat ke Malaysia sebagai TKI. Dia yang hanya lulusan SMP, tentu akan kesulitan kalau hanya mengandalkan lapangan pekerjaan di desanya yang semakin sedikit karena semakin banyak perumahan yang dibangun di desanya dan mengurangi luas lahan pertanian yang mungkin bisa dia kelola sebagai buruh tani.
Sebagai anak sulung, Susiyati hanya ingin membantu keempat adiknya agar bisa bersekolah sampai di bangku SMA dan tidak hanya menjadi lulusan SMP seperti dirinya. Dia tidak tega melihat bapak dan emaknya yang harus membanting tulang demi mencukupi kebutuhan keluarga sebagai buruh tani di sawah milik kepala desa. Oleh karena itu, dia berpikir menjadi TKI merupakan satu-satunya jalan pintas bagi dirinya untuk bebas dari kemiskinan. Gaji yang dijanjikan oleh Parjiyo kalau dia mau bekerja di Malaysia sebesar 1000 RM per bulan dan iming-iming tinggal di asrama karyawan yang bergelimang fasilitas berhasil membuang segala kengerian yang dia alami ketika mendengar begitu banyak majikan memperlakukan TKI seperti budak. Kekhawatiran itu lenyap seketika tergantikan oleh fantasi ringgit yang melimpah dan rumah bertembok beton yang akan dia berikan untuk bapak dan emaknya setelah dia pulang kerja dari Malaysia.
Kaya. Satu kata itu yang ada di benak Susiyati ketika dia akhirnya berangkat dari Semarang dengan menumpang kapal menuju Pontianak. Dia sama sekali tidak tahu dokumen apa saja yang harus dia miliki karena setiap dia menanyakan hal itu pada Parjiyo, pria pendek berkulit coklat itu malahan memarahinya dan mengatakan bahwa Susiyati tidak perlu memikirkannya karena pengurusan dokumen menjadi urusan agen. Susiyati hanya tahu bahwa dia hanya disuruh membawa KTP dari desanya dan KTP itu nantinya akan diganti dengan KTP baru untuk mengurus paspor setibanya dia di Entikong.
Susiyati hanya bisa menuruti kata-kata Parjiyo agar dia tidak mendapat masalah. Semuanya terlihat lancar sampai dia diantar ke perbatasan Indonesia-Malaysia dan bertemu dengan dua orang pria berkulit bersih berlogat melayu yang mengaku berasal dari sebuah agen tenaga kerja di Tebedu. Dari Tebedu, dia harus naik mobil butut berdesakan dengan 15 wanita lain bernasib sama dengannya menuju ke Sarawak. Semua wanita itu memiliki mimpi yang sama dengan Susiyati. Mimpi yang dia sendiri tidak tahu apakah bisa diwujudkan atau hanya menjadi angan-angan belaka.
Sesampainya di Sarawak, hari sudah petang. Susiyati bersama dua wanita lain yang menumpang mobil itu diturunkan di sebuah rumah toko yang kumuh.
“Ini tempat tinggal kalian bertiga.” kata pria berambut keriting yang merupakan sopir mobil butut yang ternyata juga pekerja dari Indonesia sambil menunjuk bangunan bercat putih kusam di depannya.
“Bukannya kami akan tinggal di asrama?” tanya Susiyati dengan kemarahan terselip dalam suaranya yang nyaring.
“Tenaga kerja rendahan seperti kalian tidak mungkin tinggal di asrama. Semua tenaga kerja dari Indonesia rata-rata tinggal di tempat seperti ini.” ucap pria itu ketus.
Susiyati ingin bertanya lagi pada pria itu tetapi tiba-tiba pria itu sudah berbicara dulu.
“Kalian tidak usah banyak bertanya. Bergabunglah dengan TKI lain yang tinggal disini. Mereka tadi pagi sudah diberitahu oleh temanku di agen tentang kedatangan kalian. Besok pagi ikutlah bersama mereka ke pabrik dan minta salah satu dari mereka untuk membawa kalian menghadap mandor pabrik. Setelah mendapat ijin dari mandor, kalian bisa langsung bekerja.”
“Kami langsung bekerja?” tanya Margini, wanita kurus yang juga diturunkan oleh sopir di depan rumah toko itu bersama Susiyati.
“Tentu saja. Kalian datang ke sini untuk bekerja, bukan untuk berwisata. Kalau begitu, aku pamit dulu karena aku masih harus mengantar pekerja lain. Aku tinggalkan kalian di sini. Cepatlah masuk ke tempat tinggal kalian dan jangan buat masalah di sana kalau kalian ingin pulang ke Indonesia dengan selamat.” cetus pria itu sambil mengibas-ngibaskan kedua tangannya, menyuruh Susiyati dan dua temannya masuk ke rumah toko itu.
Sejak malam itu, hari-hari kelabu Susiyati di mulai. Dia harus bekerja dari pagi sampai menjelang magrib, bahkan lembur, tetapi dia hanya memperoleh 800 RM tanpa sepeserpun uang lembur. Selain itu gajinya harus dipotong berbagai pungutan liar dan potongan wajib dari agen tenaga kerja di Malaysia yang membuatnya belum pernah sekalipun mengirim uang hasil keringatnya kepada kedua orang tuanya di Kendal.
Mimpi menjadi pahlawan devisa yang sukses seakan-akan hanya menjadi khayalan Susiyati. Dia ingin lari tetapi dia diberi tahu oleh Masitoh bahwa akhir-akhir ini banyak milisi sipil yang akan segera menangkap TKI ilegal seperti dirinya. Apalagi, dia baru tahu bahwa ternyata visa kunjungannya hanya berlaku selama tiga bulan. Padahal sampai saat ini, sudah hampir setahun dia bekerja di Sarawak. Hal itu berarti dia bukan hanya bisa ditangkap oleh milisi sipil tetapi juga oleh polisi Malaysia yang akan menahannya karena menjadi imigran gelap.
Dia sebenarnya juga pernah mencoba secara diam-diam minta bantuan pada konsul jenderal di Sarawak tetapi dia merasa kecewa karena pengaduannya hanya didiamkan saja. Dia hanya berpikir siapa yang mau meringankan beban penderitaan orang-orang seperti dirinya di perantauan kalau para pejabat di konsul jenderal sesama bangsa Indonesia saja enggan membantu para TKI yang ditindas oleh majikannya.
Kini yang bisa dilakukan Susiyati hanyalah berdoa dan terus mencari akal agar dia bisa kabur dari pabrik tempatnya bekerja. Tubuhnya yang makin kurus bisa saja langsung tumbang kalau terus menerus dipaksa bekerja tanpa istirahat meski dia sakit. Dia berjanji pada dirinya sendiri kalau dia berhasil kabur dari tempatnya bekerja dan pulang ke Kendal dengan selamat dia akan memilih menjadi seorang buruh tani saja walau mungkin uang yang dihasilkannya lebih sedikit daripada iming-iming gaji sebagai seorang TKI. Dia percaya orang-orang kaya pemilik sawah di desanya jauh lebih manusiawi dan baik hati dibandingkan pemilik pabrik elektronik yang menjadi majikannya di Sarawak. Mulai saat ini, dia akan berusaha membuang jauh-jauh harapannya untuk bergelimang ringgit dan memiliki rumah beton seperti yang pernah dia impikan dulu.
Hongkong, April 2007
Siang itu, langit Hongkong tampak cerah. Mentari bersinar dengan ceria seakan tak mau kalah dengan keceriaan yang dirasakan oleh Susiyati. Tangannya mencengkeram erat dua buah tas karton berisi oleh-oleh untuk suami dan kedua anaknya di desa. Di bagasi taksi yang ditumpanginya juga terdapat dua buah koper yang salah satu isinya juga oleh-oleh yang akan diberikan untuk para tetangganya sekembalinya dia ke Indonesia.
Jalanan Hongkong yang sibuk sama sekali tidak dipedulikan oleh Susiyati. Baginya yang penting saat ini dia harus segera menuju bandara agar tidak ketinggalan pesawat. Dia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Arif dan Ninis yang dia rindukan selama hampir dua tahun ini.
Sesudah membayar ongkos taksi yang mengantarnya sampai di depan pintu keberangkatan, Susiyati langsung menuju ke tempat chek in tiket. Dia memang beruntung mendapatkan majikan yang baik hati dalam segala hal. Susiyati selalu digaji tepat waktu dan dia tidak pernah dipaksa bekerja terlalu keras. Setiap hari Minggu, dia bisa menikmati waktu libur yang diberikan majikannya sehingga dia bisa pergi berkumpul bersama teman-temannya sesama TKI. Bahkan sebelum dia pulang, majikannya sudah membelikan Susiyati tiket pesawat Hongkong-Jakarta pulang pergi. Dia juga diberi bonus uang dan biaya transportasi tambahan yang bisa dia gunakan untuk membayar ongkos taksi di Hongkong dan membeli tiket bus Jakarta-Ponorogo.
Karena majikannya yang baik hati itulah, Susiyati sangat kerasan bekerja di Hongkong selama empat tahun. Dari gaji yang diperolehnya, Susiyati bisa membangun rumah bertembok beton yang merupakan rumah termewah didesanya. Dia juga bisa membeli mobil baru dan memberi suaminya modal usaha untuk berjualan sate ayam khas Ponorogo. Bahkan dia juga bisa memberikan bantuan yang tidak sedikit untuk merenovasi masjid desa dan memperbaiki jalan dan jembatan didesanya.
Setelah selesai chek in tiket dan mengurus bagasi, Susiyati langsung menuju ke ruang tunggu bandara. Belum sampai lima menit dia duduk, telepon genggamnya berdering. Di layar telepon genggamnya tertera nama Marwati, adik iparnya yang ikut tinggal bersama suami dan kedua anaknya di Ponorogo.
“Halo, Mar. Ada apa meneleponku?”
“Mbak Susi ada di mana sekarang?”
“Aku masih berada di Bandara Hongkong. Sekarang aku tinggal menunggu boarding pesawat tujuan Jakarta.”
“Berarti Mbak Susi baru bisa tiba di Ponorogo paling cepat dua hari lagi?”
“Iya. Sesampainya di Soekarno-Hatta aku kan harus pesan tiket bus malam untuk ke Ponorogo di Pulogadung. Nanti malam, aku mau menginap dulu di rumah Bulik Padmini, baru besok sore aku pulang ke Ponorogo. Memangnya ada apa?”
“Begini Mbak, Mas Harsono di tangkap polisi.”
Jantung Susiyati seakan melompat dari rongga dadanya karena dia sangat kaget mendengar ucapan Marwati.
“Kenapa bojoku ditangkap?” ucap Susiyati tidak sabar.
“Mas Harsono ditangkap karena terkena razia polisi saat sedang ngamar dengan PSK di motel Melati.”
“Ngamar? Aku nggak salah dengar to?” kata Susiyati yang tidak percaya kalau suaminya berani berselingkuh dengan seorang PSK.
“Iya, Mbak. Tadi pagi, ada polisi yang datang ke rumah dan memberi tahu kalau Mas Harsono saat ini sedang diperiksa di kantor polisi karena tertangkap basah booking kamar motel dan bermesraan dengan PSK di sana. Polisi itu bilang Mas Harsono mungkin harus tetap berada di kantor polisi untuk dimintai keterangan beberapa hari ini. Polisi itu juga menanyakan keberadaan Mbak Susi. Polisi itu berpesan kalau Mbak Susi sudah sampai di Ponorogo, Mbak disuruh ke kantor polisi untuk dimintai keterangan juga.”
“Untuk apa aku harus dimintai keterangan?”
“Karena ternyata Mas Harsono bukan hanya ngamar dengan PSK itu tetapi dia juga sedang nyabu.”
Susiyati tersentak dengan kata-kata Marwati. Mana mungkin suaminya yang alim dan pendiam bisa melakukan semua itu.
“Sejak kapan Mas Harsono mulai melakukan hal semacam itu?”
“Aku nggak tahu, Mbak. Tetapi setahun belakangan ini, Mas Harsono selalu keluar malam hari dan baru pulang keesokan harinya. Usaha sate ayamnya pun sekarang tidak pernah diurus dan warungnya jarang buka.”
“Anak-anakku tahu kalau bapaknya ditangkap polisi?”
“Anak-anak tahu hal itu, Mbak, karena polisi itu datang pas anak-anak masih di rumah. Namun sekarang mereka sudah aku antar ke sekolah. Nanti sore, aku dan anak-anak mau menjenguk Mas Harsono di kantor polisi. Mbak Susi nggak perlu mengkhawatirkan mereka. Sekarang, yang terpenting Mbak Susi bisa pulang ke Ponorogo dengan selamat.”
“Mar, aku titip anak-anakku ya. Masalah Mas Harsono akan aku urusi kalau aku sudah sampai di Ponorogo.”
“Kalau begitu, aku tutup dulu ya Mbak teleponnya.”
“Iya, Mar.”
Pikiran Susiyati menjadi kacau mendengar kabar buruk tentang suaminya. Perasaan bahagia yang menyertai kepulangannya ke Indonesia berubah menjadi sedih dan kecewa. Betapa jahat suaminya karena menodai kepercayaan yang selama ini menjadi perekat rumah tangga mereka. Bukan hanya itu, keberhasilan Susiyati menjadi pahlawan devisa yang paling sukses di desanya ternoda oleh perbuatan amoral suaminya.
Kini dia hanya bisa menangisi nasibnya. Hatinya merasa terluka karena dikhianati. Namun, dia juga harus tabah menghadapi semua ini. Dia tidak ingin terlihat murung di hadapan anak-anaknya yang sudah sangat menantikan kepulangannya. Susiyati berpikir mungkin sekarang dia sedang diberi cobaan oleh Tuhan. Namun, dia yakin Tuhan pula lah yang akan memberinya petunjuk untuk keluar dari semua cobaan ini.
Jeddah, April 2007
Malam ini udara dingin lagi-lagi membuat sekujur tubuh Susiyati gemetar. Badannya meriang dan sejak tadi pagi panasnya belum turun juga. Kepalanya mulai terasa sakit dan perutnya terus berbunyi menahan lapar. Tidak ada seorang pun yang mempedulikannya. Dia harus berjuang sendiri melawan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
Dia sebenarnya ingin kabur saja dari gedung tua berdinding kokoh yang kini memerangkapnya. Namun, terali besi telah mengurungnya selama tiga bulan dan membuatnya tidak berdaya. Dia hanya berharap bahwa majikannya mau membebaskan dirinya dari tempat ini tetapi sebelum harapannya membumbung tinggi, dia tahu bahwa hal itu mustahil terjadi. Mana mungkin keluarga majikannya yang telah kehilangan figur pria paling penting di keluarga itu mau memaafkan dan bersedia membebaskan wanita yang telah membuat sukma pria itu melayang dari raganya.
Sebenarnya, masih ada satu uluran tangan lagi yang sangat diharapkan Susiyati untuk membantunya bebas dari penjara. Orang-orang penting dari konsul jenderal sangat dia harapkan untuk melobi aparat penegak hukum di Jeddah agar minimal membebaskannya dari ancaman hukuman pancung yang saat ini membayangi setiap tarikan napasnya. Dia pernah mendengar ada sepasang suami istri asal Indonesia yang bekerja sebagai pembantu di Riyadh yang dihukum karena membunuh rekan kerjanya sesama TKI berhasil dibebaskan dari hukuman pancung dan bisa kembali ke Indonesia dengan selamat.
Namun ternyata, orang-orang dari konsul jenderal yang sempat menjenguknya di penjara mengatakan bahwa saat ini, seiring makin ketatnya hukum di Arab Saudi, semakin sulit pula mereka melobi aparat penegak hukum. Apalagi pihak konsul jenderal terlambat mengetahui kasusnya dan hal itu membuat kesempatan mereka untuk melakukan berbagai lobi kalah cepat dengan jatuhnya vonis hukuman pancung. Susiyati yang terus khawatir dan merasa gelisah hanya bisa berharap bahwa lobi-lobi yang dijanjikan itu bisa segera selesai dan berhasil membebaskannya dari penjara.
Siang dan malam dia lalui dengan mendekatkan diri kepada Tuhan, memohon ampun atas tindakan yang dia lakukan terhadap majikan prianya. Namun, ada satu hal yang sangat diyakini oleh Susiyati yang membuat rasa penyesalannya terhadap perbuatan yang telah dia lakukan berkurang, yaitu kenyataan bahwa dia tidak sepenuhnya bersalah membunuh Tuan Besar, panggilan hormat majikan pria Susiyati. Dia membunuh Tuan Besar karena dirinya terancam akan diperkosa. Susiyati masih ingat, Minggu siang itu, Tuan Besar yang jarang menjamah dapur rumahnya sendiri, tiba-tiba muncul dihadapan Susiyati yang sedang mengaduk kari di atas kompor.
Susiyati heran dengan kemunculan Tuan Besar di dapur. Wajah Tuan Besar yang berseri-seri penuh gairah memunculkan firasat buruk di benak Susiyati. Dia merasa takut karena tidak biasanya Tuan Besar mau menemui pembantu rumah tangga seperti dirinya. Tiba-tiba saja Tuan Besar langsung mendekap tubuhnya dari belakang. Tangan kanannya mencengkeram tangan kanan Susiyati yang masih memegang pengaduk kari sementara tangan kiri Tuan Besar mematikan kompor. Kemudian dengan gerakan cepat Tuan Besar kembali mendekap Susiyati yang karena kaget langsung menjatuhkan pengaduk kari di atas lantai.
Tuan Besar kaget dan berseru, “Jangan berisik, ayo kita ke kamarmu.”
Seketika itu juga Susiyati yang panik, langsung meronta. Tubuhnya yang kurus seakan tenggelam dalam dekapan erat Tuan Besar. Dia berteriak tetapi percuma saja karena penghuni rumah yang lain, yaitu istri dan anak Tuan Besar sedang berbelanja ke supermarket diantar oleh sopir. Apalagi rumah Tuan Besar sangat luas dan tertutup pagar beton seperti benteng sehingga tidak ada tetangga di kompleks perumahan elite itu mendengar teriakannya.
Tiba-tiba Susiyati melihat pisau dapur yang tergeletak di bak cuci piring. Dia belum sempat mencuci pisau yang baru saja dia gunakan untuk memotong bawang bombay itu sehingga kalau dia terus meronta sambil berusaha menarik tubuh Tuan Besar ke arah bak cuci piring, dia pasti akan bisa meraih pisau itu.
Dia terus menarik tubuh Tuan Besar dengan sekuat tenaga sambil terus berteriak untuk mengacaukan konsentrasi Tuan Besar. Sekarang, dia sudah berada di tepi bak itu dan secepatnya melepaskan kedua tangannya dari cengkeraman Tuan Besar. Pisau itu langsung disambarnya dan tanpa berpikir panjang dia langsung menusukkan pisau itu ke perut Tuan Besar sebelah kanan bawah. Ternyata Tuan Besar tidak langsung ambruk begitu pisau itu tertancap di tubuhnya. Takut kalau Tuan Besar justru mencabut pisau itu dan balik menusuknya, Susiyati langsung mencabut pisau dapur yang sudah berlumur darah dari perut Tuan Besar dan menusukkannya ke dada bawah Tuan Besar. Seketika itu juga Tuan Besar tewas dengan mata membelalak.
Jantung Susiyati berdegup kencang, ketakutan dengan apa yang dia alami dan lakukan. Dia telah membunuh majikannya dan itu berarti kiamat baginya. Kini, bau amis mulai tercium di dapur yang lantainya menjadi berwarna merah darah. Susiyati berdiri mematung memandang tubuh Tuan Besar yang berlumur darah sambil memikirkan apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Kalau dia tetap berada di sini menunggu Nyonya Besar pulang, dia mungkin akan langsung ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Namun, kalau dia kabur, dia masih punya kesempatan untuk bebas bahkan pulang ke Indonesia dengan meminjam uang temannya sesama TKI di tarhil*.
Tiba-tiba suara klakson mobil terdengar dan itu tandanya Nyonya Besar sudah pulang. Kepanikan Susiyati semakin bertambah seiring makin seringnya suara klakson berbunyi. Pikiran Susiyati semakin runyam tatkala dering telepon terdengar tanpa henti. Nyonya Besar pasti sudah kehilangan kesabaran, kata Susiyati dalam hati. Tanpa berpikir panjang, Susiyati langsung berlari ke kamarnya untuk mengambil paspor dan kemudian mengambil tangga di gudang dan memasangnya di tembok belakang. Susiyati memanjat tangga itu dan setelah sampai di atas dia sempat merasa bingung melihat hamparan tanah kosong di bawahnya. Susiyati akhirnya nekat melompat dan dia beruntung karena tanah di bawahnya tidak terlalu keras sehingga dia selamat, hanya kakinya yang terasa nyeri.
Susiyati berlari tanpa alas kaki menuju gerbang kompleks dan terpaksa membohongi satpam yang sempat mencegatnya di pos penjagaan. Dia mengatakan kalau dia disuruh oleh majikannya untuk mengambil barang belanjaan yang tertinggal di supermarket sebelum satpam itu sempat menanyainya panjang lebar. Susiyati diperbolehkan keluar kompleks dan dia terus berlari menuju tarhil untuk menemui Giyarti, teman sedaerahnya yang sudah sebulan ditampung di tarhil karena melarikan diri setelah disiksa majikannya.
Untungnya, tarhil itu terletak tidak jauh dari kompleks perumahan majikannya. Dia langsung masuk ke tarhil dan berteriak memanggil nama Giyarti.
“Giyarti, cepatlah keluar. Aku ingin menemuimu.”
Seketika itu juga muncullah seorang wanita berjilbab yang berwajah kuning langsat berjalan menghampiri Susiyati, “Kenapa kau berteriak kencang sekali. Apa kau pikir ini rumahmu.”
“Kau tidak usah banyak berkomentar. Aku baru saja kabur dari rumah majikanku dan aku butuh uang untuk beli tiket balik ke Indonesia. Gajimu pasti sudah dibayar oleh majikanmu kan?”
“Kenapa kau kabur dari rumah majikanmu?”
“Kau tidak perlu tahu apa alasanku. Aku sangat membutukan uang sekarang ini, karena itulah aku pinjam uangmu dulu. Nanti kalau aku berhasil pulang ke Indonesia, uangmu akan aku kembalikan.”
“Aku saja belum bisa pulang ke Indonesia sampai saat ini karena uangku pasti akan habis kalau kugunakan untuk membeli tiket. Kenapa kau tidak tinggal di sini dulu, nanti kita kan bisa pulang bersama-sama dengan biaya dari konsul jenderal. Jadi, kau dan aku bisa pulang gratis dan gaji kita bisa kita berikan semuanya untuk keluarga di desa.”
“Apa yang kualami berbeda denganmu. Aku harus segera pulang ke Indonesia sekarang. Tolonglah aku sekali ini saja.”
Wajah memelas Susiyati membuat Giyarti luluh dan akhirnya, “Baiklah. Aku akan meminjamimu uang. Aku percaya kau akan mengembalikannya. Aku ambilkan dulu.” kata Giyarti yang langsung membalikkan badannya dan berjalan menuju salah satu bilik di tarhil itu. Namun, sebelum sampai di biliknya, Susiyati memanggil Giyarti yang langsung menoleh padanya.
“Giyarti, selain pinjam uang, boleh kan aku pinjam sandalmu dulu? Aku tidak sempat memakai sandal ketika kabur dari rumah majikanku.”
Giyarti memandang kaki Susiyati yang telanjang dengan tatapan heran.
“Baiklah, kau akan kupinjami sandalku.”
Setelah menerima uang dan sepasang sandal dari Giyarti, Susiyati memeluk temannya sambil mengucapkan terimakasih. Dia kemudian berjalan pergi dari tarhil itu dan menghentikan sebuah taksi untuk mengantarnya ke Bandara King Abdul Aziz. Sesampainya di loket pembelian tiket, Susiyati kaget karena tiba-tiba ada dua pria berpakaian polisi yang menyergapnya dari belakang.
“Kau di tangkap.” kata salah seorang pria itu tanpa basa-basi.
Susiyati hanya bisa pasrah ketika salah satu dari dua orang pria itu memborgol kedua tangannya dan menuntunnya masuk ke dalam mobil patroli di depan pintu terminal keberangkatan. Susiyati yakin Nyonya Besar pasti sudah tahu apa yang terjadi dan melapor ke kantor polisi.
Sesampainya di kantor polisi, Susiyati langsung diinterogasi. Dia akhirnya dijebloskan ke penjara sambil menunggu persidangannya dimulai. Namun, sampai persidangannya dimulai, tidak ada orang penting dari konsul jenderal yang mendampinginya apalagi memberikan pembelaan baginya di pengadilan. Oleh karena itu, hakim langsung dengan mudah mengetuk palu vonis hukuman pancung baginya.
Saat ini, Susiyati tahu bahwa dirinya tidak mungkin dibebaskan. Dia hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti akan datang keajaiban yang bisa membuatnya melihat dunia luar lagi dan bisa kembali ke Indonesia untuk berkumpul bersama suami dan ketiga anaknya.
Keterangan:
Tarhil: rumah penampungan
Klaten, 2 Juli 2007
(Laksmi Amalia, pemenang I kategori cerpen pada Lomba penulsain cerpen, puisi dan esai "Perempuan, Pluralisme dan Perdamaian by P3i)