Tantangan Perempuan Sulsel Dalam Upaya Menghapus Kekerasan Terhadap Perempuan
Zohra Andi Baso
“Saya mau sembahyang dulu, sebelum mengikuti kegiatan selanjutnya”, kataku kepada sekelompok teman-teman yang sama-sama mengikuti kegiatan. Tiba-tiba seorang diantaranya berkata, “Oh, apakah kamu masih sembahyang?”. Lalu kujawab, “Maksudmu apa?”, Orang tersebut menjawab lagi, “Karena anda kan berjuang untuk keadilan gender, berarti itu bertentangan dengan Islam.”
Hal yang saya kemukakan di atas adalah bagian persoalan dihadapi kaum perempuan yang memperjuangkan tercapainya keadilan dan kesetaraan bagi perempuan di Indonesia, khususnya di Sulawesi. Artinya sebagai perempuan mereka mengalami diskriminasi dan tekanan baik karena interprestasi agama baik Islam (maupun agama lainnya) maupun tekanan akibat budaya patriarki yang sangat mengakar di masyarakat.
Sebagaimana di dunia lain, titik simpul ketimpangan gender di Sulawesi Selatan khususnya, di Indonesia pada umumnya terletak pada pembedaan wilayah, status, pensifatan dan perbedaan peran. Keempat titik ketimpangan tersebut, sebagai berikut;
a. Pembedaan peran dalam hal pekerjaan. Misalnya, lelaki sering dianggap pekerja produktif sementara perempuan dianggap pekerja reproduktif.
b. Pembedaan di wilayah kerja. Lelaki berada di ranah publik (di luar rumah) dan perempuan di ranah domestik (di dalam rumah/ruang pribadi)
c. Pembedaan status. Lelaki berperan sebagai subyek dan perempuan sebagai obyek. Laki-laki sebagai pencari nafkah utama dan perempuan sebagai pencari nafkah tambahan.
d. Pembedaan sifat. Perempuan dilekati atribut femininitas, misalnya halus, sopan, kasih sayang, penakut, dan emosional. Sementara lelaki dilekati atribut makulinitas seperti berani, kuat, rasional, gagah, dan tegas.
Bentuk-bentuk ketimpangan jender :
1. Marginalisasi, yaitu peminggiran perempuan di bidang ekonomi produktif.
2. Subordinasi (penomorduaan), yaitu penciptaan citra bahwa perempuan pada dasarnya irrasional dan emosional sehingga tidak dapat memimpin. Oleh karena itu, perempuan harus ditempatkan pada posisi yang tidak penting.
3. Stereotipi negatif, yaitu terbangunnya anggapan bahwa perempuan suka bersolek hanya untuk menggoda lelaki. Perempuan yang berstatus janda sering tersudut melalui stereotip seperti ini.
4. Beban ganda, yaitu penempatan posisi sosial secara ganda. Perempuan diposisikan di rumah, sementara pada saat lain perempuan yang bekerja di luar rumah tetap mengerjakan sendiri pekerjaan dalam rumah.
5. Kekerasan terhadap perempuan. Banyak kekerasan terhadap perempuan muncul sebagai akibat langsung dari ketimpangan jender. Misalnya, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam bidang politik, kekerasan ekonomi, dan kekerasan lainnya.
Akibat dari 5 bentuk ketimpangan gender di atas, perempuan di wilayah kami mengalami lima hal penting seperti:
• Kekacauan akibat konflik antar pihak yang bertikai membuat perempuan rentan terhadap tindak kekerasan baik fisik, psikis, seksual dan ekonomi, seperti yang terjadi di Poso, Mamasa dan Luwu.
• Adanya ketentuan hukum yang belum memberikan perlindungan dan tidak mengakomodir hak-hak perempuan.
• Adanya kekerasan berbasis gender yang mengatasnamakan agama (fundamentalisme) dan tradisi budaya
• Krisis ekonomi yang berkepanjangan dan situasi politik yang tidak stabil membuat perempuan rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan baik di dalam rumah tangga (KDRT), perdagangan perempuan, kekerasan di tempat kerja dll.
• Di kabupaten tertentu dibuat pengaturan yang membatasi ruang gerak perempuan. Misalnya munculnya perda yang mengatur cara berpakaian dan jadwal perempuan dapat keluar rumah. Di kabupaten Bulukumba misalnya, Pemda setempat tidak akan perempuan yang datang untuk mengurus kepentingnya apabila tidak mengenakan jilbab. Belum lama ini juga adanya rancangan undang–undang anti pornografi dan pornoaksi sebagai bentuk penindasan baru yang membuat perempuan Indonesia berjuang dengan keras untuk RUU tersebut.
Berikut data-data ketertinggalan kaum perempuan di Sulsel seperti:
1. Dari dunia pendidikan
Tingkat partisipasi sekolah pada tahun 2004 :
a. Umur 13-15 tahun, tingkat partisipasi sekolah laki-laki sebesar 67,36 % sedangkan perempuan 69,87 %
b. Umur 7-12 tahun, tingkat partisipasi sekolah laki-laki sebesar 91,51 % sedangkan perempuan 92,85 %
c. Umur 16-18 tahun, tingkat partisipasi sekolah laki-laki sebesar 44,76 % sedangkan perempuan 44,47 %
d. Umur 19-24 tahun, tingkat partisipasi sekolah laki-laki sebesar 13,79 % sedangkan perempuan 12,58 %
2. Dari dunia kesehatan :
a. Status kesehatan perempuan ternyata lebih buruk dari pada laki-laki jika dilihat dari persentase penduduk perempuan yang menderita sakit setiap bulan. Pada tahun 2004 menunjukkan laki-laki 10,61 persen, perempuan 11,56 persen yang menderita sakit setiap bulan. Kondisi tersebut berdampak luas pada diri perempuan yang menderita sakit yang disebabkan rendahnya status gizi.
b. Dimensi lain tentang pertolongan kelahiran oleh tenaga dukun masih cukup tinggi. Ini terlihat pada tahun 2004 menunjukkan angka 53,96 % ditangani oleh Non Medis, sedangkan untuk tenaga Dokter sebanyak 6,60 %, Bidan 39,44 %.
3. Perempuan dan Pengangguran
Tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2004 menunjukkan laki-laki sebanyak 14,06 %, perempuan sebanyak 7,18 %. Sedangkan tingkat pengangguran terdidik (kaum intelektual) pada tahun 2004 menunjukkan laki-laki 10,70 % dan perempuan sebanyak 27,14 %.
4. Perempuan & Politik
Percantuman 30 % kuota bagi perempuan di parlamen sesuai dengan Undang-Undang 12/2004 ttg PEMILU, belum dapat dipenuhi. Berdasarkan atas hasil pemilihan calon anggota DPR dan DPRD Prop dan Kab/Kota serta anggota DPD pada Pemilu 5 April 2004 yang lalu, anggota legislatif untuk DPR hanya 2 orang perempuan, DPRD Propinsi hanya 6 orang perempuan dan untuk DPRD Kab/Kota rata-rata hanya 3 orang perempuan, sedangkan untuk anggota DPD SulSel sama sekali tidak ada.
5. Perempuan dan Pengangguran
Tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2004 menunjukkan laki-laki sebanyak 14,06 %, perempuan sebanyak 7,18 %. Sedangkan tingkat pengangguran terdidik (kaum intelektual) pada tahun 2004 menunjukkan laki-laki 10,70 % dan perempuan sebanyak 27,14 %
6. Angka kekerasan terhadap perempuan di wilayah Sulawesi makin hari makin meningkat. Di Sulsel tingkat kekerasan terhadap perempuan meningkat baik yang terjadi di ranah publik maupun di rumah tangga.
Bertitik tolak dari persoalan di atas kami melakukan berbagai upaya untuk menghentikan kekerasan, untuk meraih kehidupan yang damai bagi masyarakat Sulsel yaitu dengan cara:
1. Advokasi untuk mendorong lahirnya kebijakan yang berpihak kepada perempuan.
2. Melakukan pendampingan korban kekerasan yang dialami perempuan, baik yang berada di wilayah konflik, maupun dalam lingkup rumah tangga.
3. Membangun jejaring (networking) sesama perempuan baik individu maupun secara organisasi. Salah satu upayanya dengan melakukan pendidikan kritis untuk perempuan di tingkat akar rumput (grass root). Saat ini organisasi kami, telah berjaringan dengan 2800 perempuan yang terlibat aktif sebagai kader kritis di tempatnya masing-masing.
4. Membangun jaringan dengan media mass cetak dan elektronik dalam mengkampanyekan isu perdamaian dan anti kekerasan.
5. Melakukan lobi dengan para aparat hukum dan institusi negara agar membuat kebijakan yang pro perdamaian.
6. Melakukan koordinasi dengan berbagai institusi, sehingga apabila terjadi konflik seperti terjadi ledakan bom, konflik yang ada tidak semakin meluas terjadi di tempat lain.
Catatan: [makalah ini merupakan bagian 3 dari buku healing, gender and peace yang diterbitkan oleh P3i –red/sy-]
“Saya mau sembahyang dulu, sebelum mengikuti kegiatan selanjutnya”, kataku kepada sekelompok teman-teman yang sama-sama mengikuti kegiatan. Tiba-tiba seorang diantaranya berkata, “Oh, apakah kamu masih sembahyang?”. Lalu kujawab, “Maksudmu apa?”, Orang tersebut menjawab lagi, “Karena anda kan berjuang untuk keadilan gender, berarti itu bertentangan dengan Islam.”
Hal yang saya kemukakan di atas adalah bagian persoalan dihadapi kaum perempuan yang memperjuangkan tercapainya keadilan dan kesetaraan bagi perempuan di Indonesia, khususnya di Sulawesi. Artinya sebagai perempuan mereka mengalami diskriminasi dan tekanan baik karena interprestasi agama baik Islam (maupun agama lainnya) maupun tekanan akibat budaya patriarki yang sangat mengakar di masyarakat.
Sebagaimana di dunia lain, titik simpul ketimpangan gender di Sulawesi Selatan khususnya, di Indonesia pada umumnya terletak pada pembedaan wilayah, status, pensifatan dan perbedaan peran. Keempat titik ketimpangan tersebut, sebagai berikut;
a. Pembedaan peran dalam hal pekerjaan. Misalnya, lelaki sering dianggap pekerja produktif sementara perempuan dianggap pekerja reproduktif.
b. Pembedaan di wilayah kerja. Lelaki berada di ranah publik (di luar rumah) dan perempuan di ranah domestik (di dalam rumah/ruang pribadi)
c. Pembedaan status. Lelaki berperan sebagai subyek dan perempuan sebagai obyek. Laki-laki sebagai pencari nafkah utama dan perempuan sebagai pencari nafkah tambahan.
d. Pembedaan sifat. Perempuan dilekati atribut femininitas, misalnya halus, sopan, kasih sayang, penakut, dan emosional. Sementara lelaki dilekati atribut makulinitas seperti berani, kuat, rasional, gagah, dan tegas.
Bentuk-bentuk ketimpangan jender :
1. Marginalisasi, yaitu peminggiran perempuan di bidang ekonomi produktif.
2. Subordinasi (penomorduaan), yaitu penciptaan citra bahwa perempuan pada dasarnya irrasional dan emosional sehingga tidak dapat memimpin. Oleh karena itu, perempuan harus ditempatkan pada posisi yang tidak penting.
3. Stereotipi negatif, yaitu terbangunnya anggapan bahwa perempuan suka bersolek hanya untuk menggoda lelaki. Perempuan yang berstatus janda sering tersudut melalui stereotip seperti ini.
4. Beban ganda, yaitu penempatan posisi sosial secara ganda. Perempuan diposisikan di rumah, sementara pada saat lain perempuan yang bekerja di luar rumah tetap mengerjakan sendiri pekerjaan dalam rumah.
5. Kekerasan terhadap perempuan. Banyak kekerasan terhadap perempuan muncul sebagai akibat langsung dari ketimpangan jender. Misalnya, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam bidang politik, kekerasan ekonomi, dan kekerasan lainnya.
Akibat dari 5 bentuk ketimpangan gender di atas, perempuan di wilayah kami mengalami lima hal penting seperti:
• Kekacauan akibat konflik antar pihak yang bertikai membuat perempuan rentan terhadap tindak kekerasan baik fisik, psikis, seksual dan ekonomi, seperti yang terjadi di Poso, Mamasa dan Luwu.
• Adanya ketentuan hukum yang belum memberikan perlindungan dan tidak mengakomodir hak-hak perempuan.
• Adanya kekerasan berbasis gender yang mengatasnamakan agama (fundamentalisme) dan tradisi budaya
• Krisis ekonomi yang berkepanjangan dan situasi politik yang tidak stabil membuat perempuan rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan baik di dalam rumah tangga (KDRT), perdagangan perempuan, kekerasan di tempat kerja dll.
• Di kabupaten tertentu dibuat pengaturan yang membatasi ruang gerak perempuan. Misalnya munculnya perda yang mengatur cara berpakaian dan jadwal perempuan dapat keluar rumah. Di kabupaten Bulukumba misalnya, Pemda setempat tidak akan perempuan yang datang untuk mengurus kepentingnya apabila tidak mengenakan jilbab. Belum lama ini juga adanya rancangan undang–undang anti pornografi dan pornoaksi sebagai bentuk penindasan baru yang membuat perempuan Indonesia berjuang dengan keras untuk RUU tersebut.
Berikut data-data ketertinggalan kaum perempuan di Sulsel seperti:
1. Dari dunia pendidikan
Tingkat partisipasi sekolah pada tahun 2004 :
a. Umur 13-15 tahun, tingkat partisipasi sekolah laki-laki sebesar 67,36 % sedangkan perempuan 69,87 %
b. Umur 7-12 tahun, tingkat partisipasi sekolah laki-laki sebesar 91,51 % sedangkan perempuan 92,85 %
c. Umur 16-18 tahun, tingkat partisipasi sekolah laki-laki sebesar 44,76 % sedangkan perempuan 44,47 %
d. Umur 19-24 tahun, tingkat partisipasi sekolah laki-laki sebesar 13,79 % sedangkan perempuan 12,58 %
2. Dari dunia kesehatan :
a. Status kesehatan perempuan ternyata lebih buruk dari pada laki-laki jika dilihat dari persentase penduduk perempuan yang menderita sakit setiap bulan. Pada tahun 2004 menunjukkan laki-laki 10,61 persen, perempuan 11,56 persen yang menderita sakit setiap bulan. Kondisi tersebut berdampak luas pada diri perempuan yang menderita sakit yang disebabkan rendahnya status gizi.
b. Dimensi lain tentang pertolongan kelahiran oleh tenaga dukun masih cukup tinggi. Ini terlihat pada tahun 2004 menunjukkan angka 53,96 % ditangani oleh Non Medis, sedangkan untuk tenaga Dokter sebanyak 6,60 %, Bidan 39,44 %.
3. Perempuan dan Pengangguran
Tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2004 menunjukkan laki-laki sebanyak 14,06 %, perempuan sebanyak 7,18 %. Sedangkan tingkat pengangguran terdidik (kaum intelektual) pada tahun 2004 menunjukkan laki-laki 10,70 % dan perempuan sebanyak 27,14 %.
4. Perempuan & Politik
Percantuman 30 % kuota bagi perempuan di parlamen sesuai dengan Undang-Undang 12/2004 ttg PEMILU, belum dapat dipenuhi. Berdasarkan atas hasil pemilihan calon anggota DPR dan DPRD Prop dan Kab/Kota serta anggota DPD pada Pemilu 5 April 2004 yang lalu, anggota legislatif untuk DPR hanya 2 orang perempuan, DPRD Propinsi hanya 6 orang perempuan dan untuk DPRD Kab/Kota rata-rata hanya 3 orang perempuan, sedangkan untuk anggota DPD SulSel sama sekali tidak ada.
5. Perempuan dan Pengangguran
Tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2004 menunjukkan laki-laki sebanyak 14,06 %, perempuan sebanyak 7,18 %. Sedangkan tingkat pengangguran terdidik (kaum intelektual) pada tahun 2004 menunjukkan laki-laki 10,70 % dan perempuan sebanyak 27,14 %
6. Angka kekerasan terhadap perempuan di wilayah Sulawesi makin hari makin meningkat. Di Sulsel tingkat kekerasan terhadap perempuan meningkat baik yang terjadi di ranah publik maupun di rumah tangga.
Bertitik tolak dari persoalan di atas kami melakukan berbagai upaya untuk menghentikan kekerasan, untuk meraih kehidupan yang damai bagi masyarakat Sulsel yaitu dengan cara:
1. Advokasi untuk mendorong lahirnya kebijakan yang berpihak kepada perempuan.
2. Melakukan pendampingan korban kekerasan yang dialami perempuan, baik yang berada di wilayah konflik, maupun dalam lingkup rumah tangga.
3. Membangun jejaring (networking) sesama perempuan baik individu maupun secara organisasi. Salah satu upayanya dengan melakukan pendidikan kritis untuk perempuan di tingkat akar rumput (grass root). Saat ini organisasi kami, telah berjaringan dengan 2800 perempuan yang terlibat aktif sebagai kader kritis di tempatnya masing-masing.
4. Membangun jaringan dengan media mass cetak dan elektronik dalam mengkampanyekan isu perdamaian dan anti kekerasan.
5. Melakukan lobi dengan para aparat hukum dan institusi negara agar membuat kebijakan yang pro perdamaian.
6. Melakukan koordinasi dengan berbagai institusi, sehingga apabila terjadi konflik seperti terjadi ledakan bom, konflik yang ada tidak semakin meluas terjadi di tempat lain.
Catatan: [makalah ini merupakan bagian 3 dari buku healing, gender and peace yang diterbitkan oleh P3i –red/sy-]
0 Comments:
Post a Comment
<< Home