Tuesday, December 26, 2006

Bunga-Bunga Mekar di Penjara : Tantangan perjuangan keadilan bagi para perempuan korban kekerasan di Timor Timur

Galuh Wandita[1]

Karena perang saya digunakan layaknya kuda oleh para tentara Indonesia dan membuat saya menanggung begitu banyak anak. Kini saya tak punya lagi kekuatan untuk mengantarkan anak-anak saya ke masa depan yang lebih baik...

Ketika saya teringat dan mengisahkan cerita ini, saya merasa malu dan sakit hati, namun saya harus mengabarkan ini sehingga saya dapat belajar dari penderitaan saya. [2]

Tiga tahun belakangan ini saya beruntung menjadi bagian dari sebuah proses luar biasa yang terjadi di negara yang baru-baru ini diporak-porandakan oleh tentara dan milisi yang berada di bawah kontrol militer Indonesia. Oleh sebab kontrol media yang ketat di rejim Orde Baru, tidak banyak orang di Indonesia mengetahui apa yang terjadi di Timor Timur selama masa-masa gelap pendudukan oleh Indonesia. Kebanyakan orang Indonesia meyakini bahwa kawasan ini memang sudah sahihnya menjadi propinsi ke 27 Indonesia, yang secara tidak adil telah direnggut dari Indonesia oleh konspirasi internasional. Nyatanya, kebenarannya jauh dari itu. Indonesia secara tidak legal menduduki Timor Timur pada 1975 dengan dukungan negara-negara seperti Amerika dan Australia yang takut akan penyebaran komunisme di Asia. Timor Timur yang sebelumnya merupakan jajahan Portugis, toh tidak pernah menjadi bagian kebangsaan Indonesia yang dibentuk oleh warga berbagai kepulauan yang sebelumnya dijajah oleh Belanda. Pada 1999, setahun setelah kejatuhan Presiden Suharto, warga Timor Timur dihadapkan pada dua pilihan : otonomi khusus di bawah Indonesia atau merdeka. Ini merupakan kemenangan hak asasi manusia dan demokrasi, manakala warga Timor Timur memilih dalam Pemilu dengan kesadaran penuh, di tengah kekerasan yang garang yang dilakukan oleh militer Indonesia bersama kelompok-kelompok milisi bentukannya.

Setelah kedatangan pasukan penjaga perdamaian, kami kembali ke Timor Timur menyaksikan kawasan yang musnah akibat kekerasan. Lebih dari 70 persen bangunan, rumah pribadi dan kantor publik hancur rata tanah. Tidak ada lagi infrastruktur yang berfungsi sementara ratusan ribu warga Timor Timur tengah kembali ke negerinya setelah sebelumnya ’dievakuasi’ menyeberangi perbatasan Indonesia di Timor Barat. Kami juga lantas tahu bahwa ribuan telah terbunuh dan ribuan lainnya diperkosa. Yang lainnya selamat dari tahanan dan siksaan.


Perempuan-perempuan yang Lolos-bertahan dari Kekerasan

Selama enam tahun di Timor Timur saya mengetahui banyak perempuan tampil kuat dan menggugah. Mereka itulah yang bertahan selamat dari kekerasan yang tidak terkabarkan. Salah satu dari mereka, ‘saksi A’, demikian ia dikenali dari dokumen-dokumen di pengadilan, adalah seorang perempuan petani muda dari kampung Gouda di gunung. Usianya menjelang 21 (ia tidak yakin kapan ia lahir. Menurutnya ia masih bocah yang baru belajar jalan, saat dibawa oleh ibunya ketika mereka lari ke gunung selama invasi Indonesia pada 1975. Ibunya meninggal karena sakit dan kelaparan di tenda pengungsian ketika mereka menyerah beberapa tahun kemudian). Sosoknya tidak tinggi, wajah dan lengannya coklat gelap dibakar terik matahari. Kedua bola matanya besar dan secantik mata rusa. Tubuhnya sangat kurus menunjukkan tulang-tulangnya. Wajahnya terlalu cepat berkerut akibat hari-hari panjang bekerja keras di perladangan gunung. Ketika ia tersenyum, itu senyum yang lebar dan bercahaya. Berkat keberanian dan kelantangannya berbicaralah, dimulai proses untuk memperjuangkan keadilan atas kejahatan berbasis jender di Timor Timur.

Pada 1999, ia dan lusinan lainnya dari kampungnya secara sewenang-wenang ditahan oleh milisi atas perintah militer Indonesia. Mereka ditahan di sebuah bangunan publik yang bersebelahan dengan markas tentara. Suatu hari ketika Mei 1999, ia dan dua perempuan muda lainnya dipaksa masuk mobil ambulan dan dibawa pergi melintasi perbatasan kota Atambua. Di sana mereka disekap di kamar hotel selama berhari-hari dan berkali-kali diperkosa. Pelaku kejahatan ini adalah komandan militer Indonesia tingkat kecamatan, Letnan-dua Bambang Indra, bersama dua lainnya yang anggota milisi. Mereka diancam untuk tidak menceritakan kepada siapa pun atas apa yang terjadi pada mereka. Namun kedatangan pasukan Interfet pada Oktober 1999 menyebabkan milisi dan pada gilirannya juga tentara Indonesia meninggalkan wilayah jajahannya. A mengisahkan ceritanya kepada seorang perawat dan berupaya minta pertolongan atas penyakit yang dideritanya sebagai akibat dari apa yang dialaminya. Pada tahun 2000 ia tinggal di penampungan perempuan di Dili, di mana saya pertama kali bertemu dengannya, sementara ia menerima perawatan medis. Staf dari Fokupers, LSM perempuan di Timor Timur, mendokumentasikan ceritanya. Belakangan para penyelidik dari Serious Crimes Unit PBB datang mewawancarai dia dan dua orang temannya, “saksi B dan C”. Kesaksian-kesaksian mereka mengarahkan pada investigasi lebih lanjut yang mendokumentasikan kejahatan masif – pelanggaran hukum merampas kemerdekaan seseorang, pembunuhan, penganiayaan berat dan perkosaan – termasuk peristiwa keji di mana seorang pemimpin milisi memotong telinga seseorang dan kemudian memaksa korban memakan telinga yang disorongkan kepadanya.

Mereka diantar ke Dili untuk bersaksi tentang apa yang terjadi dalam sebuah sidang tertutup. Akhir Desember 2005, ketika saya berbicara dengannya dalam sebuah workshop yang diorganisasikan oleh Fokupers, ia masih belum tahu apa keputusan pengadilan walaupun sudah diputuskan bahwa terdakwa dinyatakan bersalah melakukan kejahatan atas kemanusiaan pada April 2003 dan dipenjara selama 12 tahun. Pada April 2005 temannya, B, meninggal pada usia 20 akibat penyakit yang tidak diketahui, kendati tampaknya itu berhubungan dengan kekerasan yang ia alami. Temannya ini meninggalkan bayinya yang berusia 6 bulan di bawah perawatan adiknya yang baru berumur 18 tahun.

Kehidupan A adalah perjuangan semata bertahan hidup hari ke hari. Dikatakannya bahwa ia sering kelaparan biarpun telah membanting tulang menanam tanaman pangan untuk kebutuhan dia dan bibinya yang sudah tua. Setiap minggu pamannya membawa hasil tani mereka – jagung, ketela, buncis – ke pasar di Bobonaro menempuh dua jam berjalan kaki. Ketika saya tanya apa yang ia harapkan bagi dirinya, bagi masa depannya, jawabnya, tabah, “Saya hanya ingin sendiri. Tapi jangan tinggalkan saya mati”.

Kisah A mencerminkan kondisi Timor Timur. Ia memiliki kekuatan dan daya sembuh yang tak terbayangkan – selamat bertahan hidup dari cobaan berat yang pastinya akan merontokkan orang kebanyakan. Toh ia tak bisa lepas dari masa lalu sebab yang silam terus membentuk (atau harus saya katakan membelenggu) masa depannya. Titik perhatiannya adalah pada bertahan hidup dan ia belum sepenuhnya berhasil, betapapun segala upayanya telah ia kerahkan. Untuk beberapa hal A adalah satu yang beruntung karena orang-orang yang bertanggungjawab atas kekerasan yang menimpanya diseret ke pengadilan. Keadilan di Timor Timur baru menyentuh satu permukaan.

CAVR

Pada jalur yang sama penduduk Timor Timur tengah membangun bangsa yang baru setelah lolos hidup dari penjajahan yang brutal. Toh mereka tak bisa lepas dari masa lalu. Dalam tiga tahun terakhir saya terlibat merancang dan menerapkan berfungsinya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Timur (atau dikenal sebagai CAVR) bersama dengan kolega-kolega Timor Timur dan internasional.

CAVR berdiri pada Januari 2002 di bawah pemerintahan sementara PBB. Komisi ini punya tiga tujuan : 1) menyingkap kebenaran tentang pelanggaran hak asasi yang terjadi dari 1974 hingga 1999; 2) membantu reintegrasi dari mereka yang terlibat ‘pelanggaran berupa kejahatan kecil’ melalui proses rekonsiliasi berbasis komunitas; dan 3) membantu rehabilitasi kedaulatan bagi para korban tindak pelanggaran hak asasi. Pada ujung mandatnya CAVR diharuskan membuat laporan akhir, termasuk menyertakan temuan-temuan dan rekomendasinya, yang akan membantu “mencegah terulangnya pelanggaran hak asasi dan merespon kebutuhan korban-korban pelanggaran hak asasi”.

Selama tahapan operasional kurang lebih 18 bulan, CAVR menghimpun hampir 8000 pernyataan (21,4% dari perempuan), merekam 1000 wawancara, menghitung seluruh batu nisan di pemakaman umum dan mensurvei kematian rumah tangga, memfasilitasi hampir 300 diskusi komunitas guna mendokumentasikan pelanggaran yang dialami oleh komunitas secara kolektif, menggelar 8 dengar pendapat publik skala nasional, 50 dengar pendapat korban tingkat kecamatan dan menjembatani 1300 proses rekonsiliasi komunitas, memenuhi reparasi/penggantian kebutuhan mendesak bagi lebih dari 500 korban, termasuk memfasilitasi workshop penyembuhan dan menyediakan penyerahan dan dukungan bagi pelayanan lokal. (Ini semua kelihatannya sudah banyak yang dilakukan, namun dalam kenyataannya ini layaknya baru setetes air di lautan).

Beberapa temuan utama[3] :

· Korban Kematian

Diperkirakan 102.800 – 183.000 warga sipil direnggut ajalnya selama periode 1974 – 1999 dengan sebab-sebab yang terkait konflik; kurang lebih 18.600 diantaranya merupakan korban yang dibunuh langsung atau korban hilang yang utamanya dilakukan oleh angkatan bersenjata Indonesia. Sisanya, sedikitnya 84.200 orang, namun boleh jadi lebih dari itu, meninggal oleh sebab menderita kelaparan dan sakit terutama pada tahun-tahun 1977-1979, yakni di masa operasi-operasi militer Indonesia berlangsung intensif.

· Displacement

Warga Timor-Leste mengalami masa-masa ketercerabutan (displacement) yang amat kerap dalam jumlah masif antara 1975 dan 1999. Ketercerabutan ini menyebabkan kekacauan yang besar bagi mereka yang terkena, termasuk hingga kehilangan nyawa.

· Kekerasan Seksual

Angkatan bersenjata Indonesia terlibat dalam tindak perkosaan dan bentuk-bentuk lain kekerasan seksual yang terjadi secara meluas dan sistematis, yang meliputi sepanjang kurun waktu pendudukan, terjadi secara terbuka dan diketahui resmi. Anggota-anggota Fretilin, UDT dan Falintil juga terlibat kekerasan serupa namun tidak secara meluas dan sistematis



· Penyekapan

Penyekapan yang kerap disertai penyiksaan dan perlakuan-menyakiti merupakan kekerasan yang paling umum diderita warga Timor Timur antara 1974 dan 1999. Perampasan kemerdekaan terjadi meliputi keseluruhan konflik di seluruh daerah dan dilakukan oleh semua pihak namun terbanyak oleh angkatan bersenjata Indonesia.

· Pengadilan Politik

Sidang-sidang pengadilan Indonesia terhadap ratusan penentang politiknya dari Timor Timur berjalan tidak adil atau melanggar hak-hak asasi dan aturan hukum, bahkan kerap melanggar kitab undang-undang Indonesia sendiri selain hukum internasional, dan pada prinsipnya ditujukan untuk memberangus perlawanan terhadap kekuasaan Indonesia di Timor-Leste.

· Penentuan Pendapat Sendiri

Kebanyakan anggota PBB termasuk Dewan Keamanan gagal untuk menegakkan hak menentukan pendapat sendiri sebagaimana dikenali PBB, untuk Timor Timur, selama rentang masa pendudukan Indonesia beserta kekuatan-kekuatan utama yang memberikan bantuan militer dan bantuan lainnya terhadap Indonesia selama periode itu.

· Hukum Perang

Angkatan bersenjata Indonesia telah melanggar hukum-hukum perang atau Konvensi Jenewa secara sistematis dan meluas dengan, misalnya, gagal memisahkan antara warga sipil dengan target militer, mengeksekusi tahanan, menjarah untuk keuntungan pribadi, menghancurkan sumber-sumber pangan, dan dengan pelanggaran-pelanggaran lain terhadap ketentuan-ketentuan hukum internasional; dan bahwa Fretilin/Falintil juga terikat di bawah hukum-hukum perang yang dilanggarnya meskipun dalam skala yang jauh lebih kecil ketimbang yang dilakukan angkatan bersenjata Indonesia.

· Anak-anak

Kanak-kanak Timor-Leste – terlepas dari keringkihannya dan status khususnya sebagai minoritas – menderita sepenuh-penuhnya akibat hak asasi yang dilanggar, termasuk tindak pembunuhan, kekerasan seksual, ketercerabutan (displacement) dan penyekapan; mereka juga menderita kekerasan tambahan seperti perekrutan paksa dan penculikan ke Indonesia.




· Hak-hak Ekonomi dan Sosial

Indonesia menanamkan modal besar dan mendorong pertumbuhan ekonomi Timor Timur namun prioritas-prioritas utamanya dibelokkan oleh pertimbangan-pertimbangan keamanan dan ekonomi pembangunan sehingga gagal memenuhi hak-hak mayoritas warga Timor Timur, yang pembangunannya pada ujung masa pendudukan Indonesia tertinggal jauh di belakang negara-negara lain dan semua propinsi-propinsi lain di Indonesia.

· Korban-korban

Bahwa korban-korban sangat berhak dipertimbangkan khusus dalam sebuah program penggantian (reparasi) kerugian atau pelayanan khusus lainnya seperti para korban perkosaan, para pemuda di kawasan urban, orang-orang dewasa yang menjadi cacat, mantan tahanan politik dan korban penyiksaan serta korban dan keluarga korban kekerasan yang dilakukan oleh Fretilin/Falintil.

CAVR menemukan pola yang menunjukkan konflik berkandungan jender. Laki-laki Timor dilihat sebagai lawan politis, dijadikan target operasi-operasi militer Indonesia berskala luas di mana mereka terbunuh, hilang, ditahan dan disiksa. Para perempuan dalam jumlah yang lebih kecil menderita pelanggaran hak asasi yang kasar, namun merupakan korban-korban utama kekerasan seksual. Betapapun demikian, manakala anggota keluarga yang lelaki terbunuh, ditahan, hilang atau dibuntungkan, para perempuan menanggungkan akibat-akibatnya. Mereka mendadak menjadi tiang utama penanggung nafkah dan pelindung keluarga yang harus penyokong diri beserta anak-anak mereka. Keadaan ini membuat perempuan semakin ringkih dan rawan menghadapi kesewenang-wenangan militer atau kelompok-kelompok lainnya. Perempuan juga mengalami korban kekerasan seksual. Tidak hanya menghadapi kekerasan terhadap integritas fisik mereka, namun kerapkali marjinalisasi dan diskriminasi seumur hidup oleh anggota-anggota komunitas mereka. Cacat persepsi komunitas atas relasi seksual yang diluar kesepakatan mengarahkan kepada pandangan bahwa para perempuan korban kekerasan seksual sebagai ’perempuan gagal’ yang tak bermoral. Pengelabuan atau viktimisasi hal keaiban ini mengakibatkan luka yang lebih dalam bagi perempuan, yang justru sedang lebih rawan pijakan kakinya, sedang tergusur ruang atau tempat bertautnya, segala pegangannya yang amat dibutuhkan untuk melunakkan kejatuhannya.


Rekomendasi

CAVR diharapkan secara hukum mengajukan saran-sarannya yang akan membantu mendorong kebenaran dan rekonsiliasi, mencegah terulangnya kekerasan sebagaimana didokumentasikan dalam Laporan-laporan, dan untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan para korban segala kekerasan tersebut.


· Komunitas Internasional

Komunitas internasional, di mana layak diterapkan, semestinya :
· menjamin diskusi dan distribusi maksimum laporan, termasuk dalam PBB;
· mengajukan maaf kepada rakyat Timor-Leste dan dukungan untuk menargetkan program reparasi oleh Pemerintah Timor-Leste;
· membuka informasi rahasia untuk mendorong kelanjutan pencarian kebenaran guna mengembalikan dokumentasi dan kekayaan budaya Timor-Leste;
· menjamin para pelaku kejahatan untuk tidak menikmati kekebalan dan mendukung berlanjut-terusnya proses penyingkapan kejahatan berat yang dilakukan serta melebarkan kerangka referensinya untuk memasukkan pelanggaran-pelanggaran sebelum 1999;
· mendukung, jika diperlukan, digelarnya tribunnal internasional kasus Timor-Leste


o Indonesia

Pemerintah Indonesia diharapkan :
· mengakui dan mengajukan maaf atas pelanggaran-pelanggaran dan berkontribusi dalam program reparasi Timor-Leste;
· menjamin bahwa penjelasan-penjelasan resmi Indonesia tentang periode 1974-1999 secara historis akurat;
· membawa ke pangadilan mereka yang dituduh melanggar hak asasi dan bekerja sama dengan proses keadilan di Timor-Leste, termasuk dengan menyediakan rekaman-rekaman lengkap dari operasi-operasi militer yang mengakibatkan pelanggaran-pelanggaran hak asasi itu;
· membantu kejelasan di mana mereka yang dihilangkan dan menjernihkan nama-nama orang Timor yang dipenjara dan didaftar-hitam karena aktivitas-aktivitas dukungan mereka kepada Timor-Leste;
· menjamin hubungan baik antar warga bagian Timur dan Barat dari Timor, menjamin hak-hak anak-anak yang terpisah dan hak keluarga-keluarga Indonesia untuk mengetahui nasib saudara-saudaranya yang mati bertugas sebagai militer Indonesia di Timor-Leste.




o Pemerintah dan Warganegara Timor-Leste

Pemerintah dan warganegara Timor-Leste semestinya :
· memajukan dan melindungi segenap hak bagi semua termasuk hak-hak hidup, keamanan atau keterjaminan personal, kedamaian dan non-kekerasan, partisipasi, pendidikan, kesehatan dan lingkungan yang berkelanjutan;
· memajukan dan melindungi segenap hak bagi semua, dan khususnya hak-hak mereka yang rawan terdesak, melalui pengembangan hak-hak asasi universal akan kebudayaan dan masyarakat sipil yang efektif, parlemen, kehakiman, pelayanan publik, provedor, gereja dan keyakinan komunitas-komunitas;
· memberikan perhatian khusus pada pengembangan ke standar tertinggi hak-hak asasi dan penerapannya dalam pelayanan polisi dan angkatan bersenjata;
· menjauhkan sepenuhnya kekerasan dan intimidasi dalam kehidupan politik;
· menetapkan program reparasi nasional untuk menyediakan rehabilitasi bagi korban-korban yang paling terdesak;
· menimbang untuk mendirikan lembaga lanjutan CAVR.


Apa Sekarang?

Melalui kerja-kerja CAVR bersama para korban, saya jadi mengenal orang-orang seperti A, mereka dengan keberanian luar biasa yang berjuang demi keselamatan hidup mereka dan demi masa depan yang lebih baik untuk anak-anak mereka. Kami mencetak sebuah buku fotografi dari beberapa orang yang menerima program reparasi kebutuhan mendesak. Kami menamai buku kami ’Buku Lolos-Bertahan Hidup’. Namun ketika kami melakukan perjalanan ke daerah-daerah bersama seorang fotografer, salah satu rekan saya mengamati, “Teman-teman kita yang lolos-bertahan hidup nyatanya tidak selamat“.

Akhir Desember 2005 saya memfasilitasi sebuah workshop dengan perempuan, bersama dengan Fokupers – sebuah LSM perempuan. Kebanyakan perempuan yang turut serta dalam workshop adalah mereka yang lolos-bertahan hidup dari kekerasan seksual atau kehilangan anggota keluarga mereka. Kebanyakan dari mereka adalah orang tua tunggal. Bagi saya, ada dua temuan utama dari workshop : 1) bahwa para perempuan korban itu tidak berdaya memenuhkan kebutuhan dasar keluarga mereka; 2) bahwa mereka malah semakin diisolasi dan disisihkan oleh pemerintah mereka sendiri.


“Sebagai janda, ini seperti kami dibikin menjadi proyek-proyek rakyat tetapi kami tidak menerima apa pun. Kami orang kecil, kami tidak membuat perang ini. Saya kehilangan suami, berpikir bahwa kami akan punya masa depan yang lebih baik. Tapi kami tidak punya masa depan yang lebih baik sekarang. Anak-anak kami tidak sekolah, kami hidup dengan kondisi yang sama dengan sebelumnya”.

“Kami melakukan pekerjaan ayah dan ibu. Beban kerja kami sangat berat. Sebagai janda, kehidupan kami keras. Anak-anak berharap makanan di meja. Orang-orang besar tidak berpikir tentang kami.”

“Orang bilang kamu harus menyekolahkan anakmu supaya mereka pintar. Tapi bagaimana? Kami tidak punya kekuatan untuk menyekolahkan anak.”

“Kemerdekaan adalah baik bagi mereka yang tidak menderita.”

Suara para perempuan ini adalah suara yang mengingatkan secara jernih mengapa orang-orang seperti Anda dan saya, perlu untuk terus terlibat di Timor Timur. Ini bukan persoalan menolong yang lemah – ini sebenarnya persoalan merebut kembali kemanusiaan bersama kita. Atau dalam kata-kata yoga, turut serta dalam upaya universal untuk menyeimbangkan yang tidak seimbang.

Jadi, apa sekarang? Saya tidak menyuruh Anda membaca laporan akhir CAVR. Ini dokumen yang tebal, 2000 halaman, namun selalu ada sesuatu yang bisa dipetik. Jadi, belajarkanlah diri Anda tentang apa yang terjadi, karena ini merupakan pelajaran yang tidak bisa dikesampingkan oleh kemanusiaan. Dan juga bacalah rekomendasi-rekomendasi CAVR, pelajari bagaimana Anda bisa membantu beberapa rekomendasi ini agar terlaksana nyata.

Saya juga mendorong Anda melakukan sesuatu yang konkrit. Seperti mendukung inisiatif-inisiatif di negara-negara Anda (termasuk Indonesia) untuk mendukung rekomendasi-rekomendasi CAVR. Juga untuk mengerahkan dukungan bagi proyek-proyek pembangunan komunitas. Setulus hati saya meyakini bahwa kita berkewajiban kepada diri kita sendiri dan kepada anak-anak kita untuk merebut kembali kemanusiaan kita dengan turut serta berupaya memperbaiki kerusakan akibat masa lalu yang brutal. Masyarakat sipil, para korban dan kelompok-kelompok perempuan, para pendukung dari banyak negara harus bersatu, sekali lagi, dalam perjalanan panjang untuk mencapai keadilan dan reparasi bagi korban-korban pelanggaran hak asasi manusia.


Kesimpulan

Ketika kami mulai melangkah untuk merencanakan dan merancang kerja CAVR, seorang pendeta Katolik, Bapa Domingos Maubere, mendukung gagasan mengubah penjara Balide, yang dikenal-ulang sebagai tempat penyiksaan dan kematian, menjadi kantor CAVR. Katanya, “Akan kita tunjukkan kepada mereka bahwa kita mampu menumbuhkan bunga di penjara.” Kata-kata ini mewujud pada Februari 2002 ketika kami membuka kantor di sana. Beberapa hari sebelum pembukaan, seorang perempuan muda bernama Maria Jose, datang menanam bunga di kebun penjara. Kemudian ia bercerita kepada kami bahwa ketika ia berumur lima tahun, ia ditahan di penjara Balide bersama dengan ibunya. “Setiap saat ibu diinterogasi dan disiksa di sebelah saya”. Ia sendiri tidak terlepas dari siksaan selama enam tahun masa penahanannya. Ia kini anggota polisi Timor Timur yang bertugas di unit darurat warga. Hari itu, ketika ia datang menanam bunga di penjara/kantor kami, hati saya merasa lebih ringan.

Catatan:
[makalah ini, merupakan isi dari bagian 3, buku healing, gender and peace, yang diterbitkan oleh P3i. Suryani]
[1] Mantan wakil direktur dan manajer program Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Timur (East Timor’s Truth and Reconciliation Commission/CAVR) 2002-2005.
[2] Kesaksian seorang yang selamat bertahan hidup dari perbudakan seks dari Viqueque, dokumentasi CAVR.
[3] Ringkasan Temuan dan Rekomendasi yang dikutip dari “Introducing Chega!” Chega!, judul laporan CAVR ini, adalah bahasa Portugis yang berarti ‘tidak lagi, stop, cukup’. Kata itu dipilih sebagai judul Laporan CAVR karena amat mewakili pesan utama yang disuarakan oleh korban kepada CAVR. Chega! dapat di-klik di www.ictj.org

0 Comments:

Post a Comment

<< Home