Friday, December 22, 2006

Perempuan Agen Perdamaian

By ; Sr. Brigitta Renyaan

Perempuan secara alami merupakan kelompok yang mempunyai sifat damai dan secara
otomatis akan menjadi actor pembangunan dan penyebar nilai-nilai perdamaian dalam masyarakat. Bahwa seorang perempuan diciptakan oleh Allah untuk memberikan hidup dan untuk hidup memberikan diri. Jelas bahwa memberikan hidup dan hidup memberikan diri itu dapat dihayati oleh perempuan dengan berbagai cara dan jalan.
Adapun yang ditempuh dan dipilih, kiranya dapat dikatakan bahwa pada diri perempuan ada kekuatan untuk penyerahan diri secara total dan eksklusif langsung kepada seseorang dalam pernikahan, kepada Allah lewat berbagai tugas kemasyarakatan, entah dihayati bersamaan sebagai ibu rumah tangga atau juga sebagai perempuan karier, atau profesinya diarahkan langsung kepada Allah dengan jalan penghayatan hidup religius dengan persembahan hati yang tak terbagi bagi pelayanan kasih demi kerajaan Allah yang ditandai dengan kaul religius keperawanan, kemiskinan dan ketaatan.
Apapun bentuk hidup yang dipilih oleh perempuan itu diungkapkan dalam pemberian diri yang membuahkan rasa kasih, damai, belarasa (compation) mampuh masuk serasa dan sepenanggungan dalam nasib sesama. Inilah yang disebut kesetiaan. Karena kesetiaan itu maka dapat dimengerti bila perempuan juga punya kemampuan untuk akrab dan dekat dengan penderitaan. Allah juga menganugerahkan perempuan hati yang peka, kuat dan tabah dihadapan penderitaan dan kemalangan manusia. Sedemikian peka perasaan hati perempuan sehingga hati mudah tergetar oleh penderitaan dan mudah merasakan atau terkenai sentuhan yang menyakitkan. Sedemikian tabah hati seorang perempuan sehingga dia mampu mengorbankan yang paling berharga dalam hidupnya, demi hidup dan perdamaian. Saya seorang perempuan yang dipilih untuk hidup sebagai seorang biarawati pada tarekat PBHK (Puteri Bunda Hati Kudus). Disaat pecahnya kerusuhan, kekacauan, konflik Ambon 19 Januari 1999, saya bertugas sebagai Magistra pada Novisiat (tempat pendidikan/pembinaan, pendampingan para calon biarawati PBHK) di Ahuru Ambon. Daerah Ahuru ini sungguh menjadi lahan pertempuran para perusuh yang tidak bertanggung jawab. Penyerangan demi penyerangan mengakibatkan banyak korban, dan korban terbesar adalah perempuan dan anak. Sementara perumahan, perkampungan, harta benda dan kehidupan dilululantarkan, dihancurkan.
Pada tanggal 6 Agustus 1999 lahirlah gerakan kaum perempuan pekerja damai yang diberi nama Gerakan Perempuan Peduli (GPP). Gerakan ini dimulai sebagai sebuah gerakan moral dengan misi “hentikan pertikaian dan kekerasan”. Kami perempuan Maluku Muslim, Protestan, Katolik bersatu hati membulatkan tekad untuk berjuang bersama untuk perdamaian Maluku dan menyadarkan seluruh warga masyarakat bahwa kekerasan tidak pernah dapat menyelesaikan masalah. Sebaliknya kekerasan justru akan menambah dan memperparah masalah. Melihat dan mengalami langsung kekerasan, kekejaman, kehancuran hidup itulah yang menggetarkan, menggerakan hatiku.

MOTIVASIKU
Tepat pada tanggal 10 Agustus 1999 pukul 23,00 kami di Ahuru RT 04, RT 03, Air Besar mendapat serangan yang dahsyat, ribuan masa dengan bom rakitan, senjata rakitan menyerbu. Penyerangan ini dilanjutkan lagi pada tanggal 12 Agustus 1999 tepat pukul 11.00 siang, lebih dasyat dan telah dikepung para perusuh. ± 300 perempuan dan anak mengungsi ke Novisiat di Ahuru. Aku menyaksiakan mereka penuh ketakutan, histeris, stress,trauma sementara yang lain berdoa memohon perlindungan Tuhan bahkan mempersiapkan diri untuk menerima, mengalami pembantaian, yang lain berupaya secara alami untuk meloloskan diri dari daerah ini. Disaat itulah suatu kekuatan besar mendorongku untuk memberi peneguhan, mencari jalan, solusi untuk menghentikan kelompok penyerang, menyelamatkan dan melindungi mereka semua, perempuan dan anak-anak yang sama-sama kami terkepung. Termasuk perempuan dan anak-anak yang ikut dalam penyerangan itu.
Hidup manusia perlu dipertahankan, dilindungi, dijaga dengan berjuang tanpa kekerasan. Saya sebagai seorang perempuan yang tidak melahirkan secara fisik tetapi saya harus melahirkan perdamaian, budaya tanpa kekerasan/budaya damai itu di komunitasku, di lingkunganku, di daerahku, di negaraku bahkan didunia ini.

PERISTIWA/PENGALAMAN DALAM UPAYA PERDAMAIAN

Ø Pertama kali menelpon/berkomunikasi langsung dengan pimpinan/pembesar baik Negara, sipil, militer, masyarakat dan Agama, kepala-kepala perang kelompok grass root dll.
Ø 2 pies kain hijau lambing kesuburan dan kehidupan yang dituliskan “Hentikan kekerasan dan pertikaian”, ribuan helai-helai kecil.
Ø Diminta untuk membantu membeli senjata dan amunisi tetapi kami menolak/kami tidak melayani (mengubah tanpa kekerasan).
Ø Diejek-ejek, apa hasil perjuangan anda/perempuan dengan kerusuhan terus berlanjut, anda bekerja untuk perdamaian selama ini bagaikan “membuang garam ke laut”.
Ø Pengobatan masal dan Kitanan masal, di daerah perbatasan dimana 2 komunitas hadir dan sesudah itu diancam lewat Radio.
Ø Merancang bersama kegiatan closing the gap I dan persiapan lokasi peserta dll. Kemudian sehari sebelumnya digagalkan oleh perempuan dan masyarakat, bagaimana menghadapi perempuan-perempuan yang menentang kegiatan ini. Dan akhirnya kegiatan tetap jalan dan semua yang menentang ikut dalam kegiatan
Ø Saat mensosialisasikan butir-butir perjanjian Malino II dan pawai orang bersaudara KBMT dan ada kelompok yang mengacaukan kegiatan ini dan anak-anak muda yang menghancurkan kursi, meja di dalam tenda-tenda di depan Kantor Gubernur. Bahkan mereka mau masuk keruangan dimana berkumpul kaum perempuan untuk membunuh. Kami 4 perempuan menghalangi mereka sehingga suasana kacau itu kembali tenang.
Ø ± 2 jam aku dikepung, dihojat, dicacimaki, diancam bahkan mau dibunuh ditengah-tengah puing-puing perumahan gereja yang dibakar dan mayat-mayat ibu-ibu dan anak-anak yang dibantai di Desa Soya Ambon.
Begitu banyak pengalaman yang tidak dapat disampaikan kesempatan ini, tetapi semua ini merupakan tantangan sekaligus kekuatan, peluang bagi kami untuk terus maju dengan upaya-upaya perdamaian. Kejadian-kejadian yang menakutkan tidak menjadi penghalang bagi kami.

TANTANGAN

Tantangan dalam memperjuangkan perdamaian, perempuan sebagai agen perdamaian tentu dialami baik dari komunitas, keluarga, masyarakat bahkan dari sesame perempuan sendiri tetapi itu dapat diadapi dan tetap setia bila tantangan dari dalam diri sendiri diolah, ditata dengan sudah memiliki kedamaian, energi kasih, energi penyembuhan maka dengan sendirinya dimana saja aku berada disama tercipta kedamaian, kehangatan, kegembiraan, persaudaraan sejati. Lahirlah dimana-mana budaya kasih, budaya tanpa kekerasan.


Catatan : makalah ini disampaikan pada dialog public dan peluncuran buku “healing, Gender and peace” [suryani]

0 Comments:

Post a Comment

<< Home