Pemulihan Berbasis Komunitas dan upaya membangun Perdamaian di Atambua, NTT
Sr.Sesilia SSpS
Suasana mencekam di beberapa kamp-kamp pengungsian di Atambua, perasaan takut menghinggapi para pengungsi ketika kami mengadakan pemberian bantuan dan pelayanan lainnya. Melihat itu kami pun berusaha mencairkan suasana dengan mengadakan berbagai perlombaan. Ada beragam perlombaan yang kami buat, seperti tarik tambang, lari karung, junjung botol, makan krupuk, lari dengan bola pingpong di sendok dan sebagainya. Lewat permainan ini, mereka menjadi tertawa, melompat dan berteriak. Sedikit mulai sedikit mereka pun terbuka dan menaruh kepercayaan kepada kami sehingga dapat mengungkapkan semua kekecewaan dan masalah yang mereka hadapi. Sejak saat itu kami menjadi sangat akrab berteman dengan mereka dan berupaya mencari jalan keluar terhadap permasalahan secara bersama-sama.
Kami sering menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dalam melakukan konseling, kami tidak hanya melakukan pendampingan hanya sampai proses secara hukum kemudian pelaku dilepas begitu saja. Akan tetapi kami juga berusaha agar apapun putusan hukum itu tidak menimbulkan rasa dendam pelaku. Maka kami juga melakukan pendamping terhadap pelaku ketika di Rutan dengan pembinaan doa. Biasanya pelaku yang baru masuk Rutan, akan sangat marah dan menyatakan “awas nanti saat saya telah keluar dari penjara, saya akan habisi dia (korban)”. Tidak jarang pelaku yang marah dengan kami karena berpihak kepada korban. Setelah dibina beberapa kali, para pelaku mulai menerima kenyataan. Sehingga setelah keluar dari Rutan, pelaku mengadakan pesta dan mengundang kami sebagai bentuk syukur karena dapat bersatu lagi dengan keluarga dan komunitasnya.
Dalam penyelesaian konflik, persoalan tidak hanya ditempuh tidak menggunakan jalur hukum tetapi juga dapat melalui institusi agama dan adat. Untuk kasus yang tidak terlalu berat digunakan cara mediasi. Mediasi yang kami lakukan adalah dengan memanggil pelaku dan korban untuk duduk dan mendiskusikan masalahnya kemudian mencari solusi bersama. Saat diskusi ini dilakukan, kami akan memberikan alternatif solusi, jika mereka memutuskan untuk berdamai di FPPA, maka dibuatlah surat pernyataan untuk tidak lagi berbuat kekerasan dan mengungkapkannya dihadapan Tuhan dan bunda Maria (bagi yang umat Katolik). Setelah itu pelaku menanda tangani surat pernyataan tersebut. Korban pun juga ikut menandatangani dan kami sebagai saksi. Cara seperti ini, sudah kami lakukan terhadap beberapa pasangan. Tak jarang ada yang membawa langsung pasangannya/pelaku agar dapat saya mediasi..
Kami pernah mengadakan kampanye perdamaian dengan melibatkan anak-anak dari berbagai kelompok. Anak-anak terlihat antuasias terlibat dalam pawai damai keliling kota. Anak –anak yang berpartisipasi antara lain, anak-anak dari SDLB Alma (anak-anak cacat), Saint Egidio, dan Muhamadiyah. Mereka bergerak mulai dari lapangan umum. Acara diawali dengan doa bersama, pelepasan burung merpati, lalu berkeliling kota dengan membawa poster-poster perdamaian. Mereka berarak sambil menyanyikan lagu perdamaian sambil membagikan bunga dan stiker perdamaian kepada masyrakat yang menyaksikan pawai. Selain itu digelar bermacam-macam permainan dan senam, yang bisa mencairkan suasana komunitas.
Proses perdamaian tidak bisa dilepaskan dari proses Transformasi konflik. Transformasi konflik dapat dilakukan di komunitas seperti:
a. Menyadarkan masyarakat yang berkonflik bahwa suatu masyarakat yang hidup pasti mempunyai konflik. Tidak mungkin ada masyarakat yang tidak memiliki konflik sama sekali. Kita sering takut adanya konflik di dalam masyarakat sehingga dengan memangkas keberagaman.
b. Konflik adalah bagian normal ketika kita menjalin hubungan (relasi). Konflik terjadi di dalam setiap relasi yang membuat manusia lebih manusia. Dengan adanya konflik kita dipacu untuk senantiasa merefleksikan dan menyelidiki arah-arah yang baru yang seharusnya kita tempuh dan memeriksa relasi kita baik dengan orang lain atau dengan masyarakat umum.
c. Konflik bersifat positif: Konflik tidak mesti merupakan ancaman. Tugas kami sebagai pastoral perdamaian adalah mengolah konflik menjadi peluang untuk mencapai kemajuan. Konflik dapat membuat manusia lebih matang dan kuat menghadapi tantangan hidup. Walaupun demikian tidak perlu merangsang timbulnya konflik. Tetapi jika konflik itu tidak dapat dielakkan kita harus menanganinya sedemikian rupa sehingga menjadi peluang untuk mencapai kemajuan. Konflik yang ditangani secara negatif justru akan membawa kehancuran. Apabila kita berteriak kepada seseorang maka sudah pasti orang lain juga akan berteriak kepada kita. Apabila kita lebih berdiplomatis dalam berbicara dan lembut dalam bertutur kata maka kita akan mendapatkan perlakuan serupa.
d. Konflik adalah suatu yang dinamis: Konflik memiliki arah yang pasti yaitu suatu perubahan. Oleh karena konflik merupakan proses dinamis maka perubahan berarti bersifat dinamis. Kunci perubahan bagi kita adalah mengarahkan konflik menjadi proses perubahan positif. Kita tidak akan pernah dapat beristirahat dari konflik. Setelah kita dapat mengatasi satu konflik, maka muncul konflik baru. Hak itu menandakan kita terus berjuang dalam hidup ini.
e. Penyelesaian konflik secara damai. Selama ini orang cenderung menyelesaikan konflik dengan cara kekerasan. Cara seperti ini justru akan melahirkan konflik baru yang lebih besar. Ada 5 cara agar konflik dapat diselesaikan tanpa kekerasan yaitu:
1) Komunikasi
2) Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
3) Negosiasi
4) Mediasi
5) Dialog
f. Dalam membangun budaya yang adil dan damai, dimulai dari keluarga. Apakah di dalam keluarga kita, sudah ditanamkan budaya yang adil? Adil dalam peran gender misalnya. Bila keluarga sudah membagi peran gender yang adil, maka akan sangat mendukung terciptanya suatu perdamaian di masyarakat. Setiap orang akan selalu berusaha membahagiakan orang lain dengan memberikan apa yang sudah menjadi haknya, baik sebagai anak, suami, istri, kakek, nenek, paman maupun dengan pembantu rumah tangga.
g. Melakukan upaya rekonsiliasi. Kami berusaha mempersatukan kembali yang tercerai-berai akibat dampak konflik. Baik konflik bersenjata maupun saat jajak pendapat. Konflik menyebabkan keluarga terpecah belah. Dalam upaya rekonsiliasi ini, kami harus beberapa kali ke Timor Lorosae. Demikian pula ketika menghadapi antara pengungsi dengan penduduk lokal, konflik sumber daya serta konflik yang lainnya. Rekonsiliasi ini terus kami upayakan tanpa membedakan ras, agama, maupun pendidikan yang ada di masyarakat.
Atambua 29-5-2006.
Catatan: [makalah ini merupakan bagian 3 dari buku healing, gender and peace yg diterbitkan oleh P3i -/red/sy-]
Suasana mencekam di beberapa kamp-kamp pengungsian di Atambua, perasaan takut menghinggapi para pengungsi ketika kami mengadakan pemberian bantuan dan pelayanan lainnya. Melihat itu kami pun berusaha mencairkan suasana dengan mengadakan berbagai perlombaan. Ada beragam perlombaan yang kami buat, seperti tarik tambang, lari karung, junjung botol, makan krupuk, lari dengan bola pingpong di sendok dan sebagainya. Lewat permainan ini, mereka menjadi tertawa, melompat dan berteriak. Sedikit mulai sedikit mereka pun terbuka dan menaruh kepercayaan kepada kami sehingga dapat mengungkapkan semua kekecewaan dan masalah yang mereka hadapi. Sejak saat itu kami menjadi sangat akrab berteman dengan mereka dan berupaya mencari jalan keluar terhadap permasalahan secara bersama-sama.
Kami sering menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dalam melakukan konseling, kami tidak hanya melakukan pendampingan hanya sampai proses secara hukum kemudian pelaku dilepas begitu saja. Akan tetapi kami juga berusaha agar apapun putusan hukum itu tidak menimbulkan rasa dendam pelaku. Maka kami juga melakukan pendamping terhadap pelaku ketika di Rutan dengan pembinaan doa. Biasanya pelaku yang baru masuk Rutan, akan sangat marah dan menyatakan “awas nanti saat saya telah keluar dari penjara, saya akan habisi dia (korban)”. Tidak jarang pelaku yang marah dengan kami karena berpihak kepada korban. Setelah dibina beberapa kali, para pelaku mulai menerima kenyataan. Sehingga setelah keluar dari Rutan, pelaku mengadakan pesta dan mengundang kami sebagai bentuk syukur karena dapat bersatu lagi dengan keluarga dan komunitasnya.
Dalam penyelesaian konflik, persoalan tidak hanya ditempuh tidak menggunakan jalur hukum tetapi juga dapat melalui institusi agama dan adat. Untuk kasus yang tidak terlalu berat digunakan cara mediasi. Mediasi yang kami lakukan adalah dengan memanggil pelaku dan korban untuk duduk dan mendiskusikan masalahnya kemudian mencari solusi bersama. Saat diskusi ini dilakukan, kami akan memberikan alternatif solusi, jika mereka memutuskan untuk berdamai di FPPA, maka dibuatlah surat pernyataan untuk tidak lagi berbuat kekerasan dan mengungkapkannya dihadapan Tuhan dan bunda Maria (bagi yang umat Katolik). Setelah itu pelaku menanda tangani surat pernyataan tersebut. Korban pun juga ikut menandatangani dan kami sebagai saksi. Cara seperti ini, sudah kami lakukan terhadap beberapa pasangan. Tak jarang ada yang membawa langsung pasangannya/pelaku agar dapat saya mediasi..
Kami pernah mengadakan kampanye perdamaian dengan melibatkan anak-anak dari berbagai kelompok. Anak-anak terlihat antuasias terlibat dalam pawai damai keliling kota. Anak –anak yang berpartisipasi antara lain, anak-anak dari SDLB Alma (anak-anak cacat), Saint Egidio, dan Muhamadiyah. Mereka bergerak mulai dari lapangan umum. Acara diawali dengan doa bersama, pelepasan burung merpati, lalu berkeliling kota dengan membawa poster-poster perdamaian. Mereka berarak sambil menyanyikan lagu perdamaian sambil membagikan bunga dan stiker perdamaian kepada masyrakat yang menyaksikan pawai. Selain itu digelar bermacam-macam permainan dan senam, yang bisa mencairkan suasana komunitas.
Proses perdamaian tidak bisa dilepaskan dari proses Transformasi konflik. Transformasi konflik dapat dilakukan di komunitas seperti:
a. Menyadarkan masyarakat yang berkonflik bahwa suatu masyarakat yang hidup pasti mempunyai konflik. Tidak mungkin ada masyarakat yang tidak memiliki konflik sama sekali. Kita sering takut adanya konflik di dalam masyarakat sehingga dengan memangkas keberagaman.
b. Konflik adalah bagian normal ketika kita menjalin hubungan (relasi). Konflik terjadi di dalam setiap relasi yang membuat manusia lebih manusia. Dengan adanya konflik kita dipacu untuk senantiasa merefleksikan dan menyelidiki arah-arah yang baru yang seharusnya kita tempuh dan memeriksa relasi kita baik dengan orang lain atau dengan masyarakat umum.
c. Konflik bersifat positif: Konflik tidak mesti merupakan ancaman. Tugas kami sebagai pastoral perdamaian adalah mengolah konflik menjadi peluang untuk mencapai kemajuan. Konflik dapat membuat manusia lebih matang dan kuat menghadapi tantangan hidup. Walaupun demikian tidak perlu merangsang timbulnya konflik. Tetapi jika konflik itu tidak dapat dielakkan kita harus menanganinya sedemikian rupa sehingga menjadi peluang untuk mencapai kemajuan. Konflik yang ditangani secara negatif justru akan membawa kehancuran. Apabila kita berteriak kepada seseorang maka sudah pasti orang lain juga akan berteriak kepada kita. Apabila kita lebih berdiplomatis dalam berbicara dan lembut dalam bertutur kata maka kita akan mendapatkan perlakuan serupa.
d. Konflik adalah suatu yang dinamis: Konflik memiliki arah yang pasti yaitu suatu perubahan. Oleh karena konflik merupakan proses dinamis maka perubahan berarti bersifat dinamis. Kunci perubahan bagi kita adalah mengarahkan konflik menjadi proses perubahan positif. Kita tidak akan pernah dapat beristirahat dari konflik. Setelah kita dapat mengatasi satu konflik, maka muncul konflik baru. Hak itu menandakan kita terus berjuang dalam hidup ini.
e. Penyelesaian konflik secara damai. Selama ini orang cenderung menyelesaikan konflik dengan cara kekerasan. Cara seperti ini justru akan melahirkan konflik baru yang lebih besar. Ada 5 cara agar konflik dapat diselesaikan tanpa kekerasan yaitu:
1) Komunikasi
2) Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
3) Negosiasi
4) Mediasi
5) Dialog
f. Dalam membangun budaya yang adil dan damai, dimulai dari keluarga. Apakah di dalam keluarga kita, sudah ditanamkan budaya yang adil? Adil dalam peran gender misalnya. Bila keluarga sudah membagi peran gender yang adil, maka akan sangat mendukung terciptanya suatu perdamaian di masyarakat. Setiap orang akan selalu berusaha membahagiakan orang lain dengan memberikan apa yang sudah menjadi haknya, baik sebagai anak, suami, istri, kakek, nenek, paman maupun dengan pembantu rumah tangga.
g. Melakukan upaya rekonsiliasi. Kami berusaha mempersatukan kembali yang tercerai-berai akibat dampak konflik. Baik konflik bersenjata maupun saat jajak pendapat. Konflik menyebabkan keluarga terpecah belah. Dalam upaya rekonsiliasi ini, kami harus beberapa kali ke Timor Lorosae. Demikian pula ketika menghadapi antara pengungsi dengan penduduk lokal, konflik sumber daya serta konflik yang lainnya. Rekonsiliasi ini terus kami upayakan tanpa membedakan ras, agama, maupun pendidikan yang ada di masyarakat.
Atambua 29-5-2006.
Catatan: [makalah ini merupakan bagian 3 dari buku healing, gender and peace yg diterbitkan oleh P3i -/red/sy-]
0 Comments:
Post a Comment
<< Home