Tuesday, December 26, 2006

Tantangan Perempuan Sulsel Dalam Upaya Menghapus Kekerasan Terhadap Perempuan

Zohra Andi Baso

“Saya mau sembahyang dulu, sebelum mengikuti kegiatan selanjutnya”, kataku kepada sekelompok teman-teman yang sama-sama mengikuti kegiatan. Tiba-tiba seorang diantaranya berkata, “Oh, apakah kamu masih sembahyang?”. Lalu kujawab, “Maksudmu apa?”, Orang tersebut menjawab lagi, “Karena anda kan berjuang untuk keadilan gender, berarti itu bertentangan dengan Islam.”

Hal yang saya kemukakan di atas adalah bagian persoalan dihadapi kaum perempuan yang memperjuangkan tercapainya keadilan dan kesetaraan bagi perempuan di Indonesia, khususnya di Sulawesi. Artinya sebagai perempuan mereka mengalami diskriminasi dan tekanan baik karena interprestasi agama baik Islam (maupun agama lainnya) maupun tekanan akibat budaya patriarki yang sangat mengakar di masyarakat.

Sebagaimana di dunia lain, titik simpul ketimpangan gender di Sulawesi Selatan khususnya, di Indonesia pada umumnya terletak pada pembedaan wilayah, status, pensifatan dan perbedaan peran. Keempat titik ketimpangan tersebut, sebagai berikut;
a. Pembedaan peran dalam hal pekerjaan. Misalnya, lelaki sering dianggap pekerja produktif sementara perempuan dianggap pekerja reproduktif.
b. Pembedaan di wilayah kerja. Lelaki berada di ranah publik (di luar rumah) dan perempuan di ranah domestik (di dalam rumah/ruang pribadi)
c. Pembedaan status. Lelaki berperan sebagai subyek dan perempuan sebagai obyek. Laki-laki sebagai pencari nafkah utama dan perempuan sebagai pencari nafkah tambahan.
d. Pembedaan sifat. Perempuan dilekati atribut femininitas, misalnya halus, sopan, kasih sayang, penakut, dan emosional. Sementara lelaki dilekati atribut makulinitas seperti berani, kuat, rasional, gagah, dan tegas.

Bentuk-bentuk ketimpangan jender :
1. Marginalisasi, yaitu peminggiran perempuan di bidang ekonomi produktif.

2. Subordinasi (penomorduaan), yaitu penciptaan citra bahwa perempuan pada dasarnya irrasional dan emosional sehingga tidak dapat memimpin. Oleh karena itu, perempuan harus ditempatkan pada posisi yang tidak penting.
3. Stereotipi negatif, yaitu terbangunnya anggapan bahwa perempuan suka bersolek hanya untuk menggoda lelaki. Perempuan yang berstatus janda sering tersudut melalui stereotip seperti ini.
4. Beban ganda, yaitu penempatan posisi sosial secara ganda. Perempuan diposisikan di rumah, sementara pada saat lain perempuan yang bekerja di luar rumah tetap mengerjakan sendiri pekerjaan dalam rumah.
5. Kekerasan terhadap perempuan. Banyak kekerasan terhadap perempuan muncul sebagai akibat langsung dari ketimpangan jender. Misalnya, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam bidang politik, kekerasan ekonomi, dan kekerasan lainnya.

Akibat dari 5 bentuk ketimpangan gender di atas, perempuan di wilayah kami mengalami lima hal penting seperti:

• Kekacauan akibat konflik antar pihak yang bertikai membuat perempuan rentan terhadap tindak kekerasan baik fisik, psikis, seksual dan ekonomi, seperti yang terjadi di Poso, Mamasa dan Luwu.
• Adanya ketentuan hukum yang belum memberikan perlindungan dan tidak mengakomodir hak-hak perempuan.
• Adanya kekerasan berbasis gender yang mengatasnamakan agama (fundamentalisme) dan tradisi budaya
• Krisis ekonomi yang berkepanjangan dan situasi politik yang tidak stabil membuat perempuan rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan baik di dalam rumah tangga (KDRT), perdagangan perempuan, kekerasan di tempat kerja dll.
• Di kabupaten tertentu dibuat pengaturan yang membatasi ruang gerak perempuan. Misalnya munculnya perda yang mengatur cara berpakaian dan jadwal perempuan dapat keluar rumah. Di kabupaten Bulukumba misalnya, Pemda setempat tidak akan perempuan yang datang untuk mengurus kepentingnya apabila tidak mengenakan jilbab. Belum lama ini juga adanya rancangan undang–undang anti pornografi dan pornoaksi sebagai bentuk penindasan baru yang membuat perempuan Indonesia berjuang dengan keras untuk RUU tersebut.

Berikut data-data ketertinggalan kaum perempuan di Sulsel seperti:

1. Dari dunia pendidikan

Tingkat partisipasi sekolah pada tahun 2004 :
a. Umur 13-15 tahun, tingkat partisipasi sekolah laki-laki sebesar 67,36 % sedangkan perempuan 69,87 %
b. Umur 7-12 tahun, tingkat partisipasi sekolah laki-laki sebesar 91,51 % sedangkan perempuan 92,85 %
c. Umur 16-18 tahun, tingkat partisipasi sekolah laki-laki sebesar 44,76 % sedangkan perempuan 44,47 %
d. Umur 19-24 tahun, tingkat partisipasi sekolah laki-laki sebesar 13,79 % sedangkan perempuan 12,58 %

2. Dari dunia kesehatan :

a. Status kesehatan perempuan ternyata lebih buruk dari pada laki-laki jika dilihat dari persentase penduduk perempuan yang menderita sakit setiap bulan. Pada tahun 2004 menunjukkan laki-laki 10,61 persen, perempuan 11,56 persen yang menderita sakit setiap bulan. Kondisi tersebut berdampak luas pada diri perempuan yang menderita sakit yang disebabkan rendahnya status gizi.
b. Dimensi lain tentang pertolongan kelahiran oleh tenaga dukun masih cukup tinggi. Ini terlihat pada tahun 2004 menunjukkan angka 53,96 % ditangani oleh Non Medis, sedangkan untuk tenaga Dokter sebanyak 6,60 %, Bidan 39,44 %.

3. Perempuan dan Pengangguran

Tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2004 menunjukkan laki-laki sebanyak 14,06 %, perempuan sebanyak 7,18 %. Sedangkan tingkat pengangguran terdidik (kaum intelektual) pada tahun 2004 menunjukkan laki-laki 10,70 % dan perempuan sebanyak 27,14 %.

4. Perempuan & Politik

Percantuman 30 % kuota bagi perempuan di parlamen sesuai dengan Undang-Undang 12/2004 ttg PEMILU, belum dapat dipenuhi. Berdasarkan atas hasil pemilihan calon anggota DPR dan DPRD Prop dan Kab/Kota serta anggota DPD pada Pemilu 5 April 2004 yang lalu, anggota legislatif untuk DPR hanya 2 orang perempuan, DPRD Propinsi hanya 6 orang perempuan dan untuk DPRD Kab/Kota rata-rata hanya 3 orang perempuan, sedangkan untuk anggota DPD SulSel sama sekali tidak ada.

5. Perempuan dan Pengangguran

Tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2004 menunjukkan laki-laki sebanyak 14,06 %, perempuan sebanyak 7,18 %. Sedangkan tingkat pengangguran terdidik (kaum intelektual) pada tahun 2004 menunjukkan laki-laki 10,70 % dan perempuan sebanyak 27,14 %


6. Angka kekerasan terhadap perempuan di wilayah Sulawesi makin hari makin meningkat. Di Sulsel tingkat kekerasan terhadap perempuan meningkat baik yang terjadi di ranah publik maupun di rumah tangga.

Bertitik tolak dari persoalan di atas kami melakukan berbagai upaya untuk menghentikan kekerasan, untuk meraih kehidupan yang damai bagi masyarakat Sulsel yaitu dengan cara:

1. Advokasi untuk mendorong lahirnya kebijakan yang berpihak kepada perempuan.
2. Melakukan pendampingan korban kekerasan yang dialami perempuan, baik yang berada di wilayah konflik, maupun dalam lingkup rumah tangga.
3. Membangun jejaring (networking) sesama perempuan baik individu maupun secara organisasi. Salah satu upayanya dengan melakukan pendidikan kritis untuk perempuan di tingkat akar rumput (grass root). Saat ini organisasi kami, telah berjaringan dengan 2800 perempuan yang terlibat aktif sebagai kader kritis di tempatnya masing-masing.
4. Membangun jaringan dengan media mass cetak dan elektronik dalam mengkampanyekan isu perdamaian dan anti kekerasan.
5. Melakukan lobi dengan para aparat hukum dan institusi negara agar membuat kebijakan yang pro perdamaian.
6. Melakukan koordinasi dengan berbagai institusi, sehingga apabila terjadi konflik seperti terjadi ledakan bom, konflik yang ada tidak semakin meluas terjadi di tempat lain.

Catatan: [makalah ini merupakan bagian 3 dari buku healing, gender and peace yang diterbitkan oleh P3i –red/sy-]

Pemulihan Berbasis Komunitas dan upaya membangun Perdamaian di Atambua, NTT

Sr.Sesilia SSpS

Suasana mencekam di beberapa kamp-kamp pengungsian di Atambua, perasaan takut menghinggapi para pengungsi ketika kami mengadakan pemberian bantuan dan pelayanan lainnya. Melihat itu kami pun berusaha mencairkan suasana dengan mengadakan berbagai perlombaan. Ada beragam perlombaan yang kami buat, seperti tarik tambang, lari karung, junjung botol, makan krupuk, lari dengan bola pingpong di sendok dan sebagainya. Lewat permainan ini, mereka menjadi tertawa, melompat dan berteriak. Sedikit mulai sedikit mereka pun terbuka dan menaruh kepercayaan kepada kami sehingga dapat mengungkapkan semua kekecewaan dan masalah yang mereka hadapi. Sejak saat itu kami menjadi sangat akrab berteman dengan mereka dan berupaya mencari jalan keluar terhadap permasalahan secara bersama-sama.

Kami sering menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dalam melakukan konseling, kami tidak hanya melakukan pendampingan hanya sampai proses secara hukum kemudian pelaku dilepas begitu saja. Akan tetapi kami juga berusaha agar apapun putusan hukum itu tidak menimbulkan rasa dendam pelaku. Maka kami juga melakukan pendamping terhadap pelaku ketika di Rutan dengan pembinaan doa. Biasanya pelaku yang baru masuk Rutan, akan sangat marah dan menyatakan “awas nanti saat saya telah keluar dari penjara, saya akan habisi dia (korban)”. Tidak jarang pelaku yang marah dengan kami karena berpihak kepada korban. Setelah dibina beberapa kali, para pelaku mulai menerima kenyataan. Sehingga setelah keluar dari Rutan, pelaku mengadakan pesta dan mengundang kami sebagai bentuk syukur karena dapat bersatu lagi dengan keluarga dan komunitasnya.

Dalam penyelesaian konflik, persoalan tidak hanya ditempuh tidak menggunakan jalur hukum tetapi juga dapat melalui institusi agama dan adat. Untuk kasus yang tidak terlalu berat digunakan cara mediasi. Mediasi yang kami lakukan adalah dengan memanggil pelaku dan korban untuk duduk dan mendiskusikan masalahnya kemudian mencari solusi bersama. Saat diskusi ini dilakukan, kami akan memberikan alternatif solusi, jika mereka memutuskan untuk berdamai di FPPA, maka dibuatlah surat pernyataan untuk tidak lagi berbuat kekerasan dan mengungkapkannya dihadapan Tuhan dan bunda Maria (bagi yang umat Katolik). Setelah itu pelaku menanda tangani surat pernyataan tersebut. Korban pun juga ikut menandatangani dan kami sebagai saksi. Cara seperti ini, sudah kami lakukan terhadap beberapa pasangan. Tak jarang ada yang membawa langsung pasangannya/pelaku agar dapat saya mediasi..

Kami pernah mengadakan kampanye perdamaian dengan melibatkan anak-anak dari berbagai kelompok. Anak-anak terlihat antuasias terlibat dalam pawai damai keliling kota. Anak –anak yang berpartisipasi antara lain, anak-anak dari SDLB Alma (anak-anak cacat), Saint Egidio, dan Muhamadiyah. Mereka bergerak mulai dari lapangan umum. Acara diawali dengan doa bersama, pelepasan burung merpati, lalu berkeliling kota dengan membawa poster-poster perdamaian. Mereka berarak sambil menyanyikan lagu perdamaian sambil membagikan bunga dan stiker perdamaian kepada masyrakat yang menyaksikan pawai. Selain itu digelar bermacam-macam permainan dan senam, yang bisa mencairkan suasana komunitas.

Proses perdamaian tidak bisa dilepaskan dari proses Transformasi konflik. Transformasi konflik dapat dilakukan di komunitas seperti:

a. Menyadarkan masyarakat yang berkonflik bahwa suatu masyarakat yang hidup pasti mempunyai konflik. Tidak mungkin ada masyarakat yang tidak memiliki konflik sama sekali. Kita sering takut adanya konflik di dalam masyarakat sehingga dengan memangkas keberagaman.

b. Konflik adalah bagian normal ketika kita menjalin hubungan (relasi). Konflik terjadi di dalam setiap relasi yang membuat manusia lebih manusia. Dengan adanya konflik kita dipacu untuk senantiasa merefleksikan dan menyelidiki arah-arah yang baru yang seharusnya kita tempuh dan memeriksa relasi kita baik dengan orang lain atau dengan masyarakat umum.

c. Konflik bersifat positif: Konflik tidak mesti merupakan ancaman. Tugas kami sebagai pastoral perdamaian adalah mengolah konflik menjadi peluang untuk mencapai kemajuan. Konflik dapat membuat manusia lebih matang dan kuat menghadapi tantangan hidup. Walaupun demikian tidak perlu merangsang timbulnya konflik. Tetapi jika konflik itu tidak dapat dielakkan kita harus menanganinya sedemikian rupa sehingga menjadi peluang untuk mencapai kemajuan. Konflik yang ditangani secara negatif justru akan membawa kehancuran. Apabila kita berteriak kepada seseorang maka sudah pasti orang lain juga akan berteriak kepada kita. Apabila kita lebih berdiplomatis dalam berbicara dan lembut dalam bertutur kata maka kita akan mendapatkan perlakuan serupa.

d. Konflik adalah suatu yang dinamis: Konflik memiliki arah yang pasti yaitu suatu perubahan. Oleh karena konflik merupakan proses dinamis maka perubahan berarti bersifat dinamis. Kunci perubahan bagi kita adalah mengarahkan konflik menjadi proses perubahan positif. Kita tidak akan pernah dapat beristirahat dari konflik. Setelah kita dapat mengatasi satu konflik, maka muncul konflik baru. Hak itu menandakan kita terus berjuang dalam hidup ini.

e. Penyelesaian konflik secara damai. Selama ini orang cenderung menyelesaikan konflik dengan cara kekerasan. Cara seperti ini justru akan melahirkan konflik baru yang lebih besar. Ada 5 cara agar konflik dapat diselesaikan tanpa kekerasan yaitu:
1) Komunikasi
2) Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
3) Negosiasi
4) Mediasi
5) Dialog

f. Dalam membangun budaya yang adil dan damai, dimulai dari keluarga. Apakah di dalam keluarga kita, sudah ditanamkan budaya yang adil? Adil dalam peran gender misalnya. Bila keluarga sudah membagi peran gender yang adil, maka akan sangat mendukung terciptanya suatu perdamaian di masyarakat. Setiap orang akan selalu berusaha membahagiakan orang lain dengan memberikan apa yang sudah menjadi haknya, baik sebagai anak, suami, istri, kakek, nenek, paman maupun dengan pembantu rumah tangga.

g. Melakukan upaya rekonsiliasi. Kami berusaha mempersatukan kembali yang tercerai-berai akibat dampak konflik. Baik konflik bersenjata maupun saat jajak pendapat. Konflik menyebabkan keluarga terpecah belah. Dalam upaya rekonsiliasi ini, kami harus beberapa kali ke Timor Lorosae. Demikian pula ketika menghadapi antara pengungsi dengan penduduk lokal, konflik sumber daya serta konflik yang lainnya. Rekonsiliasi ini terus kami upayakan tanpa membedakan ras, agama, maupun pendidikan yang ada di masyarakat.

Atambua 29-5-2006.

Catatan: [makalah ini merupakan bagian 3 dari buku healing, gender and peace yg diterbitkan oleh P3i -/red/sy-]

Bunga-Bunga Mekar di Penjara : Tantangan perjuangan keadilan bagi para perempuan korban kekerasan di Timor Timur

Galuh Wandita[1]

Karena perang saya digunakan layaknya kuda oleh para tentara Indonesia dan membuat saya menanggung begitu banyak anak. Kini saya tak punya lagi kekuatan untuk mengantarkan anak-anak saya ke masa depan yang lebih baik...

Ketika saya teringat dan mengisahkan cerita ini, saya merasa malu dan sakit hati, namun saya harus mengabarkan ini sehingga saya dapat belajar dari penderitaan saya. [2]

Tiga tahun belakangan ini saya beruntung menjadi bagian dari sebuah proses luar biasa yang terjadi di negara yang baru-baru ini diporak-porandakan oleh tentara dan milisi yang berada di bawah kontrol militer Indonesia. Oleh sebab kontrol media yang ketat di rejim Orde Baru, tidak banyak orang di Indonesia mengetahui apa yang terjadi di Timor Timur selama masa-masa gelap pendudukan oleh Indonesia. Kebanyakan orang Indonesia meyakini bahwa kawasan ini memang sudah sahihnya menjadi propinsi ke 27 Indonesia, yang secara tidak adil telah direnggut dari Indonesia oleh konspirasi internasional. Nyatanya, kebenarannya jauh dari itu. Indonesia secara tidak legal menduduki Timor Timur pada 1975 dengan dukungan negara-negara seperti Amerika dan Australia yang takut akan penyebaran komunisme di Asia. Timor Timur yang sebelumnya merupakan jajahan Portugis, toh tidak pernah menjadi bagian kebangsaan Indonesia yang dibentuk oleh warga berbagai kepulauan yang sebelumnya dijajah oleh Belanda. Pada 1999, setahun setelah kejatuhan Presiden Suharto, warga Timor Timur dihadapkan pada dua pilihan : otonomi khusus di bawah Indonesia atau merdeka. Ini merupakan kemenangan hak asasi manusia dan demokrasi, manakala warga Timor Timur memilih dalam Pemilu dengan kesadaran penuh, di tengah kekerasan yang garang yang dilakukan oleh militer Indonesia bersama kelompok-kelompok milisi bentukannya.

Setelah kedatangan pasukan penjaga perdamaian, kami kembali ke Timor Timur menyaksikan kawasan yang musnah akibat kekerasan. Lebih dari 70 persen bangunan, rumah pribadi dan kantor publik hancur rata tanah. Tidak ada lagi infrastruktur yang berfungsi sementara ratusan ribu warga Timor Timur tengah kembali ke negerinya setelah sebelumnya ’dievakuasi’ menyeberangi perbatasan Indonesia di Timor Barat. Kami juga lantas tahu bahwa ribuan telah terbunuh dan ribuan lainnya diperkosa. Yang lainnya selamat dari tahanan dan siksaan.


Perempuan-perempuan yang Lolos-bertahan dari Kekerasan

Selama enam tahun di Timor Timur saya mengetahui banyak perempuan tampil kuat dan menggugah. Mereka itulah yang bertahan selamat dari kekerasan yang tidak terkabarkan. Salah satu dari mereka, ‘saksi A’, demikian ia dikenali dari dokumen-dokumen di pengadilan, adalah seorang perempuan petani muda dari kampung Gouda di gunung. Usianya menjelang 21 (ia tidak yakin kapan ia lahir. Menurutnya ia masih bocah yang baru belajar jalan, saat dibawa oleh ibunya ketika mereka lari ke gunung selama invasi Indonesia pada 1975. Ibunya meninggal karena sakit dan kelaparan di tenda pengungsian ketika mereka menyerah beberapa tahun kemudian). Sosoknya tidak tinggi, wajah dan lengannya coklat gelap dibakar terik matahari. Kedua bola matanya besar dan secantik mata rusa. Tubuhnya sangat kurus menunjukkan tulang-tulangnya. Wajahnya terlalu cepat berkerut akibat hari-hari panjang bekerja keras di perladangan gunung. Ketika ia tersenyum, itu senyum yang lebar dan bercahaya. Berkat keberanian dan kelantangannya berbicaralah, dimulai proses untuk memperjuangkan keadilan atas kejahatan berbasis jender di Timor Timur.

Pada 1999, ia dan lusinan lainnya dari kampungnya secara sewenang-wenang ditahan oleh milisi atas perintah militer Indonesia. Mereka ditahan di sebuah bangunan publik yang bersebelahan dengan markas tentara. Suatu hari ketika Mei 1999, ia dan dua perempuan muda lainnya dipaksa masuk mobil ambulan dan dibawa pergi melintasi perbatasan kota Atambua. Di sana mereka disekap di kamar hotel selama berhari-hari dan berkali-kali diperkosa. Pelaku kejahatan ini adalah komandan militer Indonesia tingkat kecamatan, Letnan-dua Bambang Indra, bersama dua lainnya yang anggota milisi. Mereka diancam untuk tidak menceritakan kepada siapa pun atas apa yang terjadi pada mereka. Namun kedatangan pasukan Interfet pada Oktober 1999 menyebabkan milisi dan pada gilirannya juga tentara Indonesia meninggalkan wilayah jajahannya. A mengisahkan ceritanya kepada seorang perawat dan berupaya minta pertolongan atas penyakit yang dideritanya sebagai akibat dari apa yang dialaminya. Pada tahun 2000 ia tinggal di penampungan perempuan di Dili, di mana saya pertama kali bertemu dengannya, sementara ia menerima perawatan medis. Staf dari Fokupers, LSM perempuan di Timor Timur, mendokumentasikan ceritanya. Belakangan para penyelidik dari Serious Crimes Unit PBB datang mewawancarai dia dan dua orang temannya, “saksi B dan C”. Kesaksian-kesaksian mereka mengarahkan pada investigasi lebih lanjut yang mendokumentasikan kejahatan masif – pelanggaran hukum merampas kemerdekaan seseorang, pembunuhan, penganiayaan berat dan perkosaan – termasuk peristiwa keji di mana seorang pemimpin milisi memotong telinga seseorang dan kemudian memaksa korban memakan telinga yang disorongkan kepadanya.

Mereka diantar ke Dili untuk bersaksi tentang apa yang terjadi dalam sebuah sidang tertutup. Akhir Desember 2005, ketika saya berbicara dengannya dalam sebuah workshop yang diorganisasikan oleh Fokupers, ia masih belum tahu apa keputusan pengadilan walaupun sudah diputuskan bahwa terdakwa dinyatakan bersalah melakukan kejahatan atas kemanusiaan pada April 2003 dan dipenjara selama 12 tahun. Pada April 2005 temannya, B, meninggal pada usia 20 akibat penyakit yang tidak diketahui, kendati tampaknya itu berhubungan dengan kekerasan yang ia alami. Temannya ini meninggalkan bayinya yang berusia 6 bulan di bawah perawatan adiknya yang baru berumur 18 tahun.

Kehidupan A adalah perjuangan semata bertahan hidup hari ke hari. Dikatakannya bahwa ia sering kelaparan biarpun telah membanting tulang menanam tanaman pangan untuk kebutuhan dia dan bibinya yang sudah tua. Setiap minggu pamannya membawa hasil tani mereka – jagung, ketela, buncis – ke pasar di Bobonaro menempuh dua jam berjalan kaki. Ketika saya tanya apa yang ia harapkan bagi dirinya, bagi masa depannya, jawabnya, tabah, “Saya hanya ingin sendiri. Tapi jangan tinggalkan saya mati”.

Kisah A mencerminkan kondisi Timor Timur. Ia memiliki kekuatan dan daya sembuh yang tak terbayangkan – selamat bertahan hidup dari cobaan berat yang pastinya akan merontokkan orang kebanyakan. Toh ia tak bisa lepas dari masa lalu sebab yang silam terus membentuk (atau harus saya katakan membelenggu) masa depannya. Titik perhatiannya adalah pada bertahan hidup dan ia belum sepenuhnya berhasil, betapapun segala upayanya telah ia kerahkan. Untuk beberapa hal A adalah satu yang beruntung karena orang-orang yang bertanggungjawab atas kekerasan yang menimpanya diseret ke pengadilan. Keadilan di Timor Timur baru menyentuh satu permukaan.

CAVR

Pada jalur yang sama penduduk Timor Timur tengah membangun bangsa yang baru setelah lolos hidup dari penjajahan yang brutal. Toh mereka tak bisa lepas dari masa lalu. Dalam tiga tahun terakhir saya terlibat merancang dan menerapkan berfungsinya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Timur (atau dikenal sebagai CAVR) bersama dengan kolega-kolega Timor Timur dan internasional.

CAVR berdiri pada Januari 2002 di bawah pemerintahan sementara PBB. Komisi ini punya tiga tujuan : 1) menyingkap kebenaran tentang pelanggaran hak asasi yang terjadi dari 1974 hingga 1999; 2) membantu reintegrasi dari mereka yang terlibat ‘pelanggaran berupa kejahatan kecil’ melalui proses rekonsiliasi berbasis komunitas; dan 3) membantu rehabilitasi kedaulatan bagi para korban tindak pelanggaran hak asasi. Pada ujung mandatnya CAVR diharuskan membuat laporan akhir, termasuk menyertakan temuan-temuan dan rekomendasinya, yang akan membantu “mencegah terulangnya pelanggaran hak asasi dan merespon kebutuhan korban-korban pelanggaran hak asasi”.

Selama tahapan operasional kurang lebih 18 bulan, CAVR menghimpun hampir 8000 pernyataan (21,4% dari perempuan), merekam 1000 wawancara, menghitung seluruh batu nisan di pemakaman umum dan mensurvei kematian rumah tangga, memfasilitasi hampir 300 diskusi komunitas guna mendokumentasikan pelanggaran yang dialami oleh komunitas secara kolektif, menggelar 8 dengar pendapat publik skala nasional, 50 dengar pendapat korban tingkat kecamatan dan menjembatani 1300 proses rekonsiliasi komunitas, memenuhi reparasi/penggantian kebutuhan mendesak bagi lebih dari 500 korban, termasuk memfasilitasi workshop penyembuhan dan menyediakan penyerahan dan dukungan bagi pelayanan lokal. (Ini semua kelihatannya sudah banyak yang dilakukan, namun dalam kenyataannya ini layaknya baru setetes air di lautan).

Beberapa temuan utama[3] :

· Korban Kematian

Diperkirakan 102.800 – 183.000 warga sipil direnggut ajalnya selama periode 1974 – 1999 dengan sebab-sebab yang terkait konflik; kurang lebih 18.600 diantaranya merupakan korban yang dibunuh langsung atau korban hilang yang utamanya dilakukan oleh angkatan bersenjata Indonesia. Sisanya, sedikitnya 84.200 orang, namun boleh jadi lebih dari itu, meninggal oleh sebab menderita kelaparan dan sakit terutama pada tahun-tahun 1977-1979, yakni di masa operasi-operasi militer Indonesia berlangsung intensif.

· Displacement

Warga Timor-Leste mengalami masa-masa ketercerabutan (displacement) yang amat kerap dalam jumlah masif antara 1975 dan 1999. Ketercerabutan ini menyebabkan kekacauan yang besar bagi mereka yang terkena, termasuk hingga kehilangan nyawa.

· Kekerasan Seksual

Angkatan bersenjata Indonesia terlibat dalam tindak perkosaan dan bentuk-bentuk lain kekerasan seksual yang terjadi secara meluas dan sistematis, yang meliputi sepanjang kurun waktu pendudukan, terjadi secara terbuka dan diketahui resmi. Anggota-anggota Fretilin, UDT dan Falintil juga terlibat kekerasan serupa namun tidak secara meluas dan sistematis



· Penyekapan

Penyekapan yang kerap disertai penyiksaan dan perlakuan-menyakiti merupakan kekerasan yang paling umum diderita warga Timor Timur antara 1974 dan 1999. Perampasan kemerdekaan terjadi meliputi keseluruhan konflik di seluruh daerah dan dilakukan oleh semua pihak namun terbanyak oleh angkatan bersenjata Indonesia.

· Pengadilan Politik

Sidang-sidang pengadilan Indonesia terhadap ratusan penentang politiknya dari Timor Timur berjalan tidak adil atau melanggar hak-hak asasi dan aturan hukum, bahkan kerap melanggar kitab undang-undang Indonesia sendiri selain hukum internasional, dan pada prinsipnya ditujukan untuk memberangus perlawanan terhadap kekuasaan Indonesia di Timor-Leste.

· Penentuan Pendapat Sendiri

Kebanyakan anggota PBB termasuk Dewan Keamanan gagal untuk menegakkan hak menentukan pendapat sendiri sebagaimana dikenali PBB, untuk Timor Timur, selama rentang masa pendudukan Indonesia beserta kekuatan-kekuatan utama yang memberikan bantuan militer dan bantuan lainnya terhadap Indonesia selama periode itu.

· Hukum Perang

Angkatan bersenjata Indonesia telah melanggar hukum-hukum perang atau Konvensi Jenewa secara sistematis dan meluas dengan, misalnya, gagal memisahkan antara warga sipil dengan target militer, mengeksekusi tahanan, menjarah untuk keuntungan pribadi, menghancurkan sumber-sumber pangan, dan dengan pelanggaran-pelanggaran lain terhadap ketentuan-ketentuan hukum internasional; dan bahwa Fretilin/Falintil juga terikat di bawah hukum-hukum perang yang dilanggarnya meskipun dalam skala yang jauh lebih kecil ketimbang yang dilakukan angkatan bersenjata Indonesia.

· Anak-anak

Kanak-kanak Timor-Leste – terlepas dari keringkihannya dan status khususnya sebagai minoritas – menderita sepenuh-penuhnya akibat hak asasi yang dilanggar, termasuk tindak pembunuhan, kekerasan seksual, ketercerabutan (displacement) dan penyekapan; mereka juga menderita kekerasan tambahan seperti perekrutan paksa dan penculikan ke Indonesia.




· Hak-hak Ekonomi dan Sosial

Indonesia menanamkan modal besar dan mendorong pertumbuhan ekonomi Timor Timur namun prioritas-prioritas utamanya dibelokkan oleh pertimbangan-pertimbangan keamanan dan ekonomi pembangunan sehingga gagal memenuhi hak-hak mayoritas warga Timor Timur, yang pembangunannya pada ujung masa pendudukan Indonesia tertinggal jauh di belakang negara-negara lain dan semua propinsi-propinsi lain di Indonesia.

· Korban-korban

Bahwa korban-korban sangat berhak dipertimbangkan khusus dalam sebuah program penggantian (reparasi) kerugian atau pelayanan khusus lainnya seperti para korban perkosaan, para pemuda di kawasan urban, orang-orang dewasa yang menjadi cacat, mantan tahanan politik dan korban penyiksaan serta korban dan keluarga korban kekerasan yang dilakukan oleh Fretilin/Falintil.

CAVR menemukan pola yang menunjukkan konflik berkandungan jender. Laki-laki Timor dilihat sebagai lawan politis, dijadikan target operasi-operasi militer Indonesia berskala luas di mana mereka terbunuh, hilang, ditahan dan disiksa. Para perempuan dalam jumlah yang lebih kecil menderita pelanggaran hak asasi yang kasar, namun merupakan korban-korban utama kekerasan seksual. Betapapun demikian, manakala anggota keluarga yang lelaki terbunuh, ditahan, hilang atau dibuntungkan, para perempuan menanggungkan akibat-akibatnya. Mereka mendadak menjadi tiang utama penanggung nafkah dan pelindung keluarga yang harus penyokong diri beserta anak-anak mereka. Keadaan ini membuat perempuan semakin ringkih dan rawan menghadapi kesewenang-wenangan militer atau kelompok-kelompok lainnya. Perempuan juga mengalami korban kekerasan seksual. Tidak hanya menghadapi kekerasan terhadap integritas fisik mereka, namun kerapkali marjinalisasi dan diskriminasi seumur hidup oleh anggota-anggota komunitas mereka. Cacat persepsi komunitas atas relasi seksual yang diluar kesepakatan mengarahkan kepada pandangan bahwa para perempuan korban kekerasan seksual sebagai ’perempuan gagal’ yang tak bermoral. Pengelabuan atau viktimisasi hal keaiban ini mengakibatkan luka yang lebih dalam bagi perempuan, yang justru sedang lebih rawan pijakan kakinya, sedang tergusur ruang atau tempat bertautnya, segala pegangannya yang amat dibutuhkan untuk melunakkan kejatuhannya.


Rekomendasi

CAVR diharapkan secara hukum mengajukan saran-sarannya yang akan membantu mendorong kebenaran dan rekonsiliasi, mencegah terulangnya kekerasan sebagaimana didokumentasikan dalam Laporan-laporan, dan untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan para korban segala kekerasan tersebut.


· Komunitas Internasional

Komunitas internasional, di mana layak diterapkan, semestinya :
· menjamin diskusi dan distribusi maksimum laporan, termasuk dalam PBB;
· mengajukan maaf kepada rakyat Timor-Leste dan dukungan untuk menargetkan program reparasi oleh Pemerintah Timor-Leste;
· membuka informasi rahasia untuk mendorong kelanjutan pencarian kebenaran guna mengembalikan dokumentasi dan kekayaan budaya Timor-Leste;
· menjamin para pelaku kejahatan untuk tidak menikmati kekebalan dan mendukung berlanjut-terusnya proses penyingkapan kejahatan berat yang dilakukan serta melebarkan kerangka referensinya untuk memasukkan pelanggaran-pelanggaran sebelum 1999;
· mendukung, jika diperlukan, digelarnya tribunnal internasional kasus Timor-Leste


o Indonesia

Pemerintah Indonesia diharapkan :
· mengakui dan mengajukan maaf atas pelanggaran-pelanggaran dan berkontribusi dalam program reparasi Timor-Leste;
· menjamin bahwa penjelasan-penjelasan resmi Indonesia tentang periode 1974-1999 secara historis akurat;
· membawa ke pangadilan mereka yang dituduh melanggar hak asasi dan bekerja sama dengan proses keadilan di Timor-Leste, termasuk dengan menyediakan rekaman-rekaman lengkap dari operasi-operasi militer yang mengakibatkan pelanggaran-pelanggaran hak asasi itu;
· membantu kejelasan di mana mereka yang dihilangkan dan menjernihkan nama-nama orang Timor yang dipenjara dan didaftar-hitam karena aktivitas-aktivitas dukungan mereka kepada Timor-Leste;
· menjamin hubungan baik antar warga bagian Timur dan Barat dari Timor, menjamin hak-hak anak-anak yang terpisah dan hak keluarga-keluarga Indonesia untuk mengetahui nasib saudara-saudaranya yang mati bertugas sebagai militer Indonesia di Timor-Leste.




o Pemerintah dan Warganegara Timor-Leste

Pemerintah dan warganegara Timor-Leste semestinya :
· memajukan dan melindungi segenap hak bagi semua termasuk hak-hak hidup, keamanan atau keterjaminan personal, kedamaian dan non-kekerasan, partisipasi, pendidikan, kesehatan dan lingkungan yang berkelanjutan;
· memajukan dan melindungi segenap hak bagi semua, dan khususnya hak-hak mereka yang rawan terdesak, melalui pengembangan hak-hak asasi universal akan kebudayaan dan masyarakat sipil yang efektif, parlemen, kehakiman, pelayanan publik, provedor, gereja dan keyakinan komunitas-komunitas;
· memberikan perhatian khusus pada pengembangan ke standar tertinggi hak-hak asasi dan penerapannya dalam pelayanan polisi dan angkatan bersenjata;
· menjauhkan sepenuhnya kekerasan dan intimidasi dalam kehidupan politik;
· menetapkan program reparasi nasional untuk menyediakan rehabilitasi bagi korban-korban yang paling terdesak;
· menimbang untuk mendirikan lembaga lanjutan CAVR.


Apa Sekarang?

Melalui kerja-kerja CAVR bersama para korban, saya jadi mengenal orang-orang seperti A, mereka dengan keberanian luar biasa yang berjuang demi keselamatan hidup mereka dan demi masa depan yang lebih baik untuk anak-anak mereka. Kami mencetak sebuah buku fotografi dari beberapa orang yang menerima program reparasi kebutuhan mendesak. Kami menamai buku kami ’Buku Lolos-Bertahan Hidup’. Namun ketika kami melakukan perjalanan ke daerah-daerah bersama seorang fotografer, salah satu rekan saya mengamati, “Teman-teman kita yang lolos-bertahan hidup nyatanya tidak selamat“.

Akhir Desember 2005 saya memfasilitasi sebuah workshop dengan perempuan, bersama dengan Fokupers – sebuah LSM perempuan. Kebanyakan perempuan yang turut serta dalam workshop adalah mereka yang lolos-bertahan hidup dari kekerasan seksual atau kehilangan anggota keluarga mereka. Kebanyakan dari mereka adalah orang tua tunggal. Bagi saya, ada dua temuan utama dari workshop : 1) bahwa para perempuan korban itu tidak berdaya memenuhkan kebutuhan dasar keluarga mereka; 2) bahwa mereka malah semakin diisolasi dan disisihkan oleh pemerintah mereka sendiri.


“Sebagai janda, ini seperti kami dibikin menjadi proyek-proyek rakyat tetapi kami tidak menerima apa pun. Kami orang kecil, kami tidak membuat perang ini. Saya kehilangan suami, berpikir bahwa kami akan punya masa depan yang lebih baik. Tapi kami tidak punya masa depan yang lebih baik sekarang. Anak-anak kami tidak sekolah, kami hidup dengan kondisi yang sama dengan sebelumnya”.

“Kami melakukan pekerjaan ayah dan ibu. Beban kerja kami sangat berat. Sebagai janda, kehidupan kami keras. Anak-anak berharap makanan di meja. Orang-orang besar tidak berpikir tentang kami.”

“Orang bilang kamu harus menyekolahkan anakmu supaya mereka pintar. Tapi bagaimana? Kami tidak punya kekuatan untuk menyekolahkan anak.”

“Kemerdekaan adalah baik bagi mereka yang tidak menderita.”

Suara para perempuan ini adalah suara yang mengingatkan secara jernih mengapa orang-orang seperti Anda dan saya, perlu untuk terus terlibat di Timor Timur. Ini bukan persoalan menolong yang lemah – ini sebenarnya persoalan merebut kembali kemanusiaan bersama kita. Atau dalam kata-kata yoga, turut serta dalam upaya universal untuk menyeimbangkan yang tidak seimbang.

Jadi, apa sekarang? Saya tidak menyuruh Anda membaca laporan akhir CAVR. Ini dokumen yang tebal, 2000 halaman, namun selalu ada sesuatu yang bisa dipetik. Jadi, belajarkanlah diri Anda tentang apa yang terjadi, karena ini merupakan pelajaran yang tidak bisa dikesampingkan oleh kemanusiaan. Dan juga bacalah rekomendasi-rekomendasi CAVR, pelajari bagaimana Anda bisa membantu beberapa rekomendasi ini agar terlaksana nyata.

Saya juga mendorong Anda melakukan sesuatu yang konkrit. Seperti mendukung inisiatif-inisiatif di negara-negara Anda (termasuk Indonesia) untuk mendukung rekomendasi-rekomendasi CAVR. Juga untuk mengerahkan dukungan bagi proyek-proyek pembangunan komunitas. Setulus hati saya meyakini bahwa kita berkewajiban kepada diri kita sendiri dan kepada anak-anak kita untuk merebut kembali kemanusiaan kita dengan turut serta berupaya memperbaiki kerusakan akibat masa lalu yang brutal. Masyarakat sipil, para korban dan kelompok-kelompok perempuan, para pendukung dari banyak negara harus bersatu, sekali lagi, dalam perjalanan panjang untuk mencapai keadilan dan reparasi bagi korban-korban pelanggaran hak asasi manusia.


Kesimpulan

Ketika kami mulai melangkah untuk merencanakan dan merancang kerja CAVR, seorang pendeta Katolik, Bapa Domingos Maubere, mendukung gagasan mengubah penjara Balide, yang dikenal-ulang sebagai tempat penyiksaan dan kematian, menjadi kantor CAVR. Katanya, “Akan kita tunjukkan kepada mereka bahwa kita mampu menumbuhkan bunga di penjara.” Kata-kata ini mewujud pada Februari 2002 ketika kami membuka kantor di sana. Beberapa hari sebelum pembukaan, seorang perempuan muda bernama Maria Jose, datang menanam bunga di kebun penjara. Kemudian ia bercerita kepada kami bahwa ketika ia berumur lima tahun, ia ditahan di penjara Balide bersama dengan ibunya. “Setiap saat ibu diinterogasi dan disiksa di sebelah saya”. Ia sendiri tidak terlepas dari siksaan selama enam tahun masa penahanannya. Ia kini anggota polisi Timor Timur yang bertugas di unit darurat warga. Hari itu, ketika ia datang menanam bunga di penjara/kantor kami, hati saya merasa lebih ringan.

Catatan:
[makalah ini, merupakan isi dari bagian 3, buku healing, gender and peace, yang diterbitkan oleh P3i. Suryani]
[1] Mantan wakil direktur dan manajer program Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Timur (East Timor’s Truth and Reconciliation Commission/CAVR) 2002-2005.
[2] Kesaksian seorang yang selamat bertahan hidup dari perbudakan seks dari Viqueque, dokumentasi CAVR.
[3] Ringkasan Temuan dan Rekomendasi yang dikutip dari “Introducing Chega!” Chega!, judul laporan CAVR ini, adalah bahasa Portugis yang berarti ‘tidak lagi, stop, cukup’. Kata itu dipilih sebagai judul Laporan CAVR karena amat mewakili pesan utama yang disuarakan oleh korban kepada CAVR. Chega! dapat di-klik di www.ictj.org

Friday, December 22, 2006

Perempuan Agen Perdamaian

By ; Sr. Brigitta Renyaan

Perempuan secara alami merupakan kelompok yang mempunyai sifat damai dan secara
otomatis akan menjadi actor pembangunan dan penyebar nilai-nilai perdamaian dalam masyarakat. Bahwa seorang perempuan diciptakan oleh Allah untuk memberikan hidup dan untuk hidup memberikan diri. Jelas bahwa memberikan hidup dan hidup memberikan diri itu dapat dihayati oleh perempuan dengan berbagai cara dan jalan.
Adapun yang ditempuh dan dipilih, kiranya dapat dikatakan bahwa pada diri perempuan ada kekuatan untuk penyerahan diri secara total dan eksklusif langsung kepada seseorang dalam pernikahan, kepada Allah lewat berbagai tugas kemasyarakatan, entah dihayati bersamaan sebagai ibu rumah tangga atau juga sebagai perempuan karier, atau profesinya diarahkan langsung kepada Allah dengan jalan penghayatan hidup religius dengan persembahan hati yang tak terbagi bagi pelayanan kasih demi kerajaan Allah yang ditandai dengan kaul religius keperawanan, kemiskinan dan ketaatan.
Apapun bentuk hidup yang dipilih oleh perempuan itu diungkapkan dalam pemberian diri yang membuahkan rasa kasih, damai, belarasa (compation) mampuh masuk serasa dan sepenanggungan dalam nasib sesama. Inilah yang disebut kesetiaan. Karena kesetiaan itu maka dapat dimengerti bila perempuan juga punya kemampuan untuk akrab dan dekat dengan penderitaan. Allah juga menganugerahkan perempuan hati yang peka, kuat dan tabah dihadapan penderitaan dan kemalangan manusia. Sedemikian peka perasaan hati perempuan sehingga hati mudah tergetar oleh penderitaan dan mudah merasakan atau terkenai sentuhan yang menyakitkan. Sedemikian tabah hati seorang perempuan sehingga dia mampu mengorbankan yang paling berharga dalam hidupnya, demi hidup dan perdamaian. Saya seorang perempuan yang dipilih untuk hidup sebagai seorang biarawati pada tarekat PBHK (Puteri Bunda Hati Kudus). Disaat pecahnya kerusuhan, kekacauan, konflik Ambon 19 Januari 1999, saya bertugas sebagai Magistra pada Novisiat (tempat pendidikan/pembinaan, pendampingan para calon biarawati PBHK) di Ahuru Ambon. Daerah Ahuru ini sungguh menjadi lahan pertempuran para perusuh yang tidak bertanggung jawab. Penyerangan demi penyerangan mengakibatkan banyak korban, dan korban terbesar adalah perempuan dan anak. Sementara perumahan, perkampungan, harta benda dan kehidupan dilululantarkan, dihancurkan.
Pada tanggal 6 Agustus 1999 lahirlah gerakan kaum perempuan pekerja damai yang diberi nama Gerakan Perempuan Peduli (GPP). Gerakan ini dimulai sebagai sebuah gerakan moral dengan misi “hentikan pertikaian dan kekerasan”. Kami perempuan Maluku Muslim, Protestan, Katolik bersatu hati membulatkan tekad untuk berjuang bersama untuk perdamaian Maluku dan menyadarkan seluruh warga masyarakat bahwa kekerasan tidak pernah dapat menyelesaikan masalah. Sebaliknya kekerasan justru akan menambah dan memperparah masalah. Melihat dan mengalami langsung kekerasan, kekejaman, kehancuran hidup itulah yang menggetarkan, menggerakan hatiku.

MOTIVASIKU
Tepat pada tanggal 10 Agustus 1999 pukul 23,00 kami di Ahuru RT 04, RT 03, Air Besar mendapat serangan yang dahsyat, ribuan masa dengan bom rakitan, senjata rakitan menyerbu. Penyerangan ini dilanjutkan lagi pada tanggal 12 Agustus 1999 tepat pukul 11.00 siang, lebih dasyat dan telah dikepung para perusuh. ± 300 perempuan dan anak mengungsi ke Novisiat di Ahuru. Aku menyaksiakan mereka penuh ketakutan, histeris, stress,trauma sementara yang lain berdoa memohon perlindungan Tuhan bahkan mempersiapkan diri untuk menerima, mengalami pembantaian, yang lain berupaya secara alami untuk meloloskan diri dari daerah ini. Disaat itulah suatu kekuatan besar mendorongku untuk memberi peneguhan, mencari jalan, solusi untuk menghentikan kelompok penyerang, menyelamatkan dan melindungi mereka semua, perempuan dan anak-anak yang sama-sama kami terkepung. Termasuk perempuan dan anak-anak yang ikut dalam penyerangan itu.
Hidup manusia perlu dipertahankan, dilindungi, dijaga dengan berjuang tanpa kekerasan. Saya sebagai seorang perempuan yang tidak melahirkan secara fisik tetapi saya harus melahirkan perdamaian, budaya tanpa kekerasan/budaya damai itu di komunitasku, di lingkunganku, di daerahku, di negaraku bahkan didunia ini.

PERISTIWA/PENGALAMAN DALAM UPAYA PERDAMAIAN

Ø Pertama kali menelpon/berkomunikasi langsung dengan pimpinan/pembesar baik Negara, sipil, militer, masyarakat dan Agama, kepala-kepala perang kelompok grass root dll.
Ø 2 pies kain hijau lambing kesuburan dan kehidupan yang dituliskan “Hentikan kekerasan dan pertikaian”, ribuan helai-helai kecil.
Ø Diminta untuk membantu membeli senjata dan amunisi tetapi kami menolak/kami tidak melayani (mengubah tanpa kekerasan).
Ø Diejek-ejek, apa hasil perjuangan anda/perempuan dengan kerusuhan terus berlanjut, anda bekerja untuk perdamaian selama ini bagaikan “membuang garam ke laut”.
Ø Pengobatan masal dan Kitanan masal, di daerah perbatasan dimana 2 komunitas hadir dan sesudah itu diancam lewat Radio.
Ø Merancang bersama kegiatan closing the gap I dan persiapan lokasi peserta dll. Kemudian sehari sebelumnya digagalkan oleh perempuan dan masyarakat, bagaimana menghadapi perempuan-perempuan yang menentang kegiatan ini. Dan akhirnya kegiatan tetap jalan dan semua yang menentang ikut dalam kegiatan
Ø Saat mensosialisasikan butir-butir perjanjian Malino II dan pawai orang bersaudara KBMT dan ada kelompok yang mengacaukan kegiatan ini dan anak-anak muda yang menghancurkan kursi, meja di dalam tenda-tenda di depan Kantor Gubernur. Bahkan mereka mau masuk keruangan dimana berkumpul kaum perempuan untuk membunuh. Kami 4 perempuan menghalangi mereka sehingga suasana kacau itu kembali tenang.
Ø ± 2 jam aku dikepung, dihojat, dicacimaki, diancam bahkan mau dibunuh ditengah-tengah puing-puing perumahan gereja yang dibakar dan mayat-mayat ibu-ibu dan anak-anak yang dibantai di Desa Soya Ambon.
Begitu banyak pengalaman yang tidak dapat disampaikan kesempatan ini, tetapi semua ini merupakan tantangan sekaligus kekuatan, peluang bagi kami untuk terus maju dengan upaya-upaya perdamaian. Kejadian-kejadian yang menakutkan tidak menjadi penghalang bagi kami.

TANTANGAN

Tantangan dalam memperjuangkan perdamaian, perempuan sebagai agen perdamaian tentu dialami baik dari komunitas, keluarga, masyarakat bahkan dari sesame perempuan sendiri tetapi itu dapat diadapi dan tetap setia bila tantangan dari dalam diri sendiri diolah, ditata dengan sudah memiliki kedamaian, energi kasih, energi penyembuhan maka dengan sendirinya dimana saja aku berada disama tercipta kedamaian, kehangatan, kegembiraan, persaudaraan sejati. Lahirlah dimana-mana budaya kasih, budaya tanpa kekerasan.


Catatan : makalah ini disampaikan pada dialog public dan peluncuran buku “healing, Gender and peace” [suryani]

Thursday, December 21, 2006

Perempuan, Takdirmu, Budayamu

Oleh : Septaria Elidalni Bangun

A. Latar Belakang

Seorang istri dibunuh oleh suaminya”hal inilah yang senantiasa dilihat di layar televisi, di koran dan hampir di segala media. Kekerasan lagi, kekerasan lagi, yang terjadi dalam kehidupan perempuan. Perempuan memang sangat rentan untuk mengalami kekerasan karena perempuan senantiasa ditempatkan di posisi tawar, baik itu dalam budaya, agama dan hampir dalam segala bidang, termasuk oleh negara.
Perempuan ibarat pepatah yang mengatakan sudah jatuh tertimpa tangga lagi. Perempuan sudah miskin, rentan pula terhadap kekerasan, apakah itu kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan karena dilanda konflik, kekerasan seksual karena perkosaan dan lain sebagainya. Perempuan sangat rentan terhadap kekerasan karena faktor budaya patriarki yang sangat berkaitan dengan kekuasaan, juga hukum yang belum berpihak kepada perempuan, demikian juga pendidikan yang masih lebih diprioritaskan pada laki-laki.
Kesenian merupakan salah satu unsur budaya yang universal. Hampir setiap masyarakat di dunia ini mempunyai kesenian dalam berbagai bentuk. Dalam kehidupan masyarakat dahulu, kesenian hampir selalu berkaitan dengan kehidupan manusia, karena kesenian hampir dapat dikatakan sangat berkaitan dengan hal-hal yang sakral, misalnya dalam upacara yang berkaitan dengan religi, pengobatan, perkawinan. Oleh karenanya kesenian itu dianggap masih mempunyai nilai-nilai yang mempersatukan, mengatur kehidupan dalam bermasyarakat, berkaitan dengan nilai-nilai, dan masih jauh dengan hal –hal yang berkaitan dengan kepentingan/politik/kekuasaan. Kesenian masih mempunyai kekuatan yang mengikat dalam kehidupan masyarakat. Tetapi saat ini, hal yang sangat menyedihkan, di zaman yang dikatakan modern ini, kesenian sudah banyak disusupi oleh hal-hal yang menyangkut kepentingan, politik, kekuasaan, sehingga kesenian itu tidak lagi mempunyai kekuatan untuk mengikat nilai-nilai yang ada dimasyarakat, dengan kata lain, kesenian tradisional itu menjadi lemah posisinya, karena dianggap sesuatu yang kuno, dan digeser oleh nilai-nilai yang dinyatakan modern.
Perubahan budaya yang berkaitan cara pandang masyarakat, tentang kesenian tradisional, juga dapat dikaitkan dengan kekerasan, apakah itu kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan yang terjadi karena konflik, dan sebagainya. Kekerasan terjadi karena dalam kehidupan manusia, kesakralan itu dianggap sebagai tahyul, baik itu dalam perkawinan, relasi antar sesama dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan lain sebagainya. Nilai-nilai yang membangun solidaritas, mempersatukan sudah tidak ada lagi, yang ada hanya ke-ika-an, dan kepentingan yang saling menguntungkan. Hal ini juga, dapat kita kaitkan antara budaya kekerasan dengan lahirnya UU Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga dibuat, pada hakekatnya upaya untuk memperkecil kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan. Undang-Undang ini telah lama dibuat dan telah lama disosialikan, serta mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit untuk ini. Tetapi kenyataannya sampai saat ini, kekerasan terhadap perempuan bukannya berkurang, tetapi malah menjadi bertambah banyak. Sepertinya lahirnya Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak begitu efektif untuk meminimalisasi kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan. Tetapi hal yang patut di dukung adalah UU anti KDRT merupakan salah satu upaya untuk memperkecil terjadinya KDRT.
Di banyak masyarakat, kesenian tradisional, merupakan sarana untuk mempropagandakan atau dapat juga mengkritik, apakah itu pemerintah, masyarakat , relasi antar sesama, termasuk juga laki-laki dan perempuan, atau dapat juga menjadi sarana, upaya perdamaian, serta dapat menjadi sarana sosialisasi dan rekonsiliasi. Ketika seorang seniman melakukan kritik, apakah itu melalui tarian, nyanyian, syair, yang dikritik tidak merasa sakit hati, karena bukan ditujukan langsung kepada perseorangan. Ada kalanya juga kesenian itu mengandung humor, juga sebagai hiburan. Karenanya, dalam banyak hal, kritik lewat kesenian lebih efektif dibandingkan dengan demontrasi, yang sering sekali menimbulkan hal-hal yang sifatnya anarkis.
Ketika upaya-upaya yang lain, misalnya UU Anti KDRT, demontrasi dengan cara turun ke jalan, atau melalui wakil rakyat tidak didengarkan lagi, tidak ada salahnya, kita mencoba utuk mengkampanyekan atau menyalurkan aspirasi suara perempuan melalui kesenian tradisional, yang ada di setiap masyarakat di dunia, terutama di Indonesia.


B. Kesenian Sebagai Sarana Pendidikan, Membangun Solidaritas dan Multikulturalisme Perempuan

Pendidikan merupakan sesuatu hal yang sangat penting dalam membangun sumber daya manusia. Pendidikan yang paling penting adalah yang bermula dari keluarga, karena segala sesuatunya dalam membangun watak dan prilaku dimulai di dalam keluarga. Selama ini anggapan masyarakat, bahwa pendidikan lebih kepada pemahaman akan pendidikan formal yakni sekolah, yang dimulai dari Play group, TK, SD, SMTP, SMU, serta universitas. Pada hakekatnya pendidikan yang ada dimasyarakat, di mana budaya yang selama ini, menjadi faktor penentunya, karena pendidikan yang seperti ini sudah sudah turun temurun, serta mengakar di masyarakat. Pendidikan yang seperti ini, sangat menentukan dan menjadi acuan dalam pembentukan watak dan bagaimana seseorang itu harus berprilaku. Pendidikan yang ada di masyarakat juga sangat mengacu kepada pembentukan nilai-nilai dan norma-norma yang ada di masyarakat. Ketika perubahan budaya terjadi, seperti asimilasi misalnya, dan budaya yang diserap, membawa dampak yang negatif, kemudian budaya yang seperti ini yang diturunkan, maka akan membawa dampak yang tidak baik pula.
Terkait dengan kemajemukan masyarakat di Indonesia, pendidikan multikultur sudah seharusnya merupakan hal yang sangat penting/urgent untuk dilakukan.

Seperti yang diutarakan oleh Irwan M, Hidayana, dalam tulisannya “Pendidikan Seksualitas dan Multikulturalisme”, dalam buku “Pendidikan Memang Multikultural, Beberapa Gagasan”, wacana multikulturalisme agaknya semakin menjadi salah satu agenda yang mendesak bagi Indonesia, seiring dengan meningkatnya ketegangan dan konflik yang bersifat horisontal, misalnya berdasarkan sentimen agama, etnis, ras, ataupun penguasaan sumber daya ekonomi atau politik- dan yang bersifat vertikal-misalnya akibat kebijakan publik dari pemerintah. Ketegangan dan konflik tersebut seringkali diwujudkan dengan bahasa kekerasan, utamanya kekerasan fisik. Mengembangkan wacana multikulturalisme dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk dapat dilakukan melalui jalur pendidikan kepada generasi muda, khususnya anak-anak dan remaja. Pendidikan dalam keluarga, pendidikan formal dan non formal (religius dan sekuler), maupun pendidikan populer melalui media massa, memegang peranan penting dalam penyebaran kesadaran multikultur (2002:195).

Membangun kesadaran multikultur dalam diri individu dan kolektif harus dilakukan sejak dini. Mengetahui, memahami, dan menyadari bahwa individu-individu atau kelompok-kelompok dalam suatu masyarakat berbeda satu sama lain, memerlukan suatu proses yang panjang. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana mengelola perbedaan-perbedaan yang ada agar tidak menimbulkan konflik dan kekerasan. Kekhasan budaya lokal, kelompok minoritas, keadilan dan kesetaraan, hak kolektif dan individual adalah beberapa isu multikultur yang perlu diperhatikan dalam pendidikan. Secara lebih spesifik, problem kesetaraan (equality) dalam ranah ras, etnisitas, gender, kelas, orientasi seksual, merupakan isu-isu utama multikulturalisme dibanyak negara (Hidayana, 2002:195-196).

Apabila pluralisme budaya menekankan akan pentingnya representasi dari kebudayaan-kebudayaan yang beragam di dalam mainstream suatu masyarakat, maka multikulturalisme tidak hanya menuntut representasi, tetapi juga penghormatan atau penghargaan bagi budaya-budaya yang beragam tersebut. Multikulturalisme berupaya mencapai keadilan, kesetaraan, dan kesamaan (parity) bagi setiap warga masyarakt. Oleh karena menyoroti persoalan disparitas sosial, maka masalah kekuasaan (power) menjadi amat penting dipersoalkan. Pluralisme budaya seringkali tidak mempersoalkan siapa yang berkuasa, tetapi multikulturalisme membawa peralihan paradigma dengan menantang status quo. Kekuasaan perlu redistribusikan agar kelompok mayoritas tidak lagi merupakan pihak tunggal yang mengontrol pemerintahan, pendidikan, hukum, bahasa, sumber daya alam, informasi, dan lain sebagainya (Hidayana, 2002:196).

Apabila dikaitkan dengan masalah perempuan, pendidikan multikultural merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Perempuan di Indonesia ini memang multikultur, tetapi dalam banyak hal, mereka mengalami permasalahan yang sama, terutama kekerasan. Hampir semua perempuan di dunia ini, terutama di Indonesia sangat rentan untuk mengalami kekerasan. Ketika kultur yang berbeda, tetapi apabila persoalan dan tantangan yang dihadapi sama, dapat meningkatkan solidaritas di kalangan perempuan dan dapat dijadikan sebagai awal pergerakan perempuan, dalam menentang kekerasan terhadap perempuan. Di sisi lain, ketika kesadaran akan perbedaan diantara laki-laki dan perempuan ada, maka akan menimbulkan saling menghargai atau tenggang rasa, yang kenudian akan berdampak kepada toleransi. Hal-hal yang seperti ini, dapat menumbuhkan sifat saling bekerjasama dan bukan merupakan perasaan bahwa laki-laki menganggap bahwa perempuan merebut kekuasaan laki-laki, tetapi lebih kepada jenjang kesetaraan yang akan menetapkan keadilan gender.
Melalui kesenian, hal ini dapat diwujudkan, karena melalui kesenian dapat diciptakan suatu pendidikan akan menghargai kemajemukan budaya, dimana kesenian yang beragam, merupakan gambaran dari masyarakat dan suku bangsa yang beragam, tentu saja memberikan gambaran watak dan sifat, serta prilaku yang beragam, pada manusianya dan lingkungannya, karena budaya merupakan cerminan yang membentuk manusianya.
Ketika kesadaran akan perbedaan timbul, bukan sifat etnosentrisme (dalam ilmu antropologi, yakni manusia memandang budaya lain berdasarkan budayanya sendiri) yang muncul, tetapi penghargaan akan perbedaan. Hal inilah yang menjadikan bahwa kebudayaan suatu masyarakat tidak lebih bagus dari budaya masyarakat yang lain, tetapi penyadaran akan setiap masyarakat mempunyai kekhasan budaya masing-masing. Dengan demikian Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi pandangan hidup bangsa kita, yakni Berbeda-beda tetapi tetap satu jua, akan dapat siwujudkan, untuk meminimalisasi konflik, baik dalam agama, politik, dan lain sebagainya, serta laki-laki dan perempuanuntuk meminimalisasi kekerasan, karena pada hakekatnya ketika konflik terjadi,apa pun itu bentuknya perempuan yang banyak menjadi korban.


C. Kesenian Sebagai Sarana Kampanye Anti Kekerasan, Realitas di Masyarakat

Tarian Mbuah Ko Page Dalam Masyarakat Karo

Tarian ini menggambarkan kegiatan mulai dari menabur benih, membajak sawah, menanam padi, memelihara padi, menjaganya dari gangguan burung, hama dan lainnya, sampai kepada menuai dan menyimpannya di lumbung padi, sampai kepada kegiatan menumbuk padi menjadi beras.
Tarian ini, biasanya dilakokan oleh muda-mudi yang berpasang-pasangan, yang disebut dengan aron (dalam kehidupan sehari-hari aron ini adalah kelompok yang bekerja di ladang atau di sawah, dan lain sebagainya, yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, dan pada umumnya mereka belum menikah. Kelompok ini dalam bekerja, melakukan pembayaran bukan dalam bentuk uang, tetapi dalam bentuk penggantian tenaga, diladang atau di sawang, dan lain sebagainya). Saat mulai dari menabur benih, muda-mudi ini berharap dan berdoa kepada Dibata (dalam masyarakat Karo, Tuhan di sebut Dibata) yang Maha Kuasa, supaya nantinya saat panen, padi ini menghasilkan berlipat ganda, sehingga dapat menjadi modal mereka untuk membangun sebuah rumah tangga yang bahagia.
Setelah panen selesai, biasanya dilanjutkan dengan kegiatan Kerja Tahun atau Pesta tahunan, yakni Ucapan sykur kepada Dibata yang Maha Kuasa, karena panen telah berhasil dan saat Kerja tahun ini diadakan yang namanya “Gendang Guro-Guro Aron, yakni kesenian tradisional, dimana merupakan wadah, yang bertujuan untuk mempertemukan muda-mudi supaya bertemu jodoh, yang secara adat memang dianggap baik/disukai/tidak sumbang. Dalam Gendang Guru-Guro Aron ini, biasanya muda-mudi yang menari, kadang kala ada juga yang menyanyi, sambil berkenalan. Dalam acara Gendang Guro-Guro Aron ini, ada sepasang; laki-laki dan perempuan, yang khusus bernyanyi dalam setiap tarian, kadang kala memberikan petuah-petuah kepada yang menari dan juga kepada yang menonton atau kepada siapa saja. Pasangan ini disebut Perkolong-Kolong. Pada Umumnya setiap Gendang Guro-Guro Aron, biasannya dibuka dengan Adu Perkolong-Kolong, setelah itu dilanjutkan dengan gendang adat dan kemudian dilanjutkan dengan muda-muda yang menari/gendang aron. Dalam Adu Perkolong-Kolong, secara umum, pasangan ini, saling mengkritik, apakah yang dikritik relasi antar perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sehari-hari, tokoh masyarakat, dan juga pemerintah/siapa saja. Tetapi karena penyampaiannya dalam bentuk humor dan menghibur, yang dikritik tidak merasa sakit hati atau tersinggung.
Ketika menari pun dalam Gendang Guro-Guro Aron ini, setiap muda-mudi tidak dapat mengambaikan adat, norma-norma dan nilai-nilai yang telah diatur dalam kehidupan masyarakat Karo, dan juga sopan-santun. Karenanya kesenian ini disamping mengedepankan keharmonisan dalam menari, keselerasan, tetapi juga menggambarkan bahwa dalam realitas kehidupan masyarakat karo, bahwa orang Karo mempunyai jiwa seni yang tinggi, bahasa dan kehidupan yang santun, lembut dan ramah tamah, serta penuh keakraban. Dalam Gendang Guro-Guro Aron ini, apabila ada seorang laki-laki yang berlaku tidak sopan, maka si laki-laki tersebut akan ditarik turus ke atas panggung oleh saudara laki-laki si perempuan, yang menjadi pasangannya atau kerabat si perempuan, yang dapat berakibat ke pertengkaran dan seringkali berakhir ke pembunuhan. Hal ini karena terjadi karena dianggap merendahkan nama baik keluarga seseorang.

Pada akhirnya suksesnya suatu acara Gendang Guro-Guro Aron ini, apabila setelah selesainya acara ini, ada pasangan yang melanjutkan ke jenjang berumah tangga (untuk jenjang berumah tangga, masih menjalani proses yang lebih panjang, dimana setelah berkenalan, mereka harus menjalani proses pacaran yang dalam bahasa Karo disebut ngerondong untuk mengenal lebih jauh antar pasangan, sampai merasa cocok benar, dalam membangun sebuah rumah tangga).
Seiring dengan perubahan zaman, dan masuknya kebudayaan Barat, kesenian tradisional Karo, juga banyak mengalami perubahan, misalnya dari alat musik yang selama ini Gendang, sarune, banyak berubah ke alat musik modern, yakni keyboard. Perubahan kesenian ini, juga berdampak kepada perubahan budaya, nilai-nilai, norma-norma yang dapat dilihat dari cara menari. Dahulu apa yang dianggap tidak sopan, tetapi saat sekarang, menjadi hal yang tidak masalah lagi. Saat sekarang ini, tari-tarian Karo banyak menggunakan lagu dangdut, misalnya sehingga cara menari juga banyak berubah ke acara dangdutan, dimana laki-laki dianggap menari dengan cara yang tidak memperdulikan nilai-nilai kesopanan, demikian juga dalam realitas kehidupan sehari-hari, relasi antara laki-laki dan perempuan banyak mengalami perubahan, baik relasi antar muda-mudi, maupun dalam rumah tangga.
Saat sekarang ini, dengan menjamurnya keyboard, untuk kalangan masyarakat yang sudah tua, tidak begitu suka, karena menurut mereka tidak ada lagi sopan-santun, di dalam kesenian ini. Misalnya seorang laki-laki yang sudah berumah tangga, dapat menari dengan seorang perempuan yang bukan pasanganya, yang menyebabkan sangat banyak terjadi perselingkuhan. Demikian juga banyaknya pasangan muda-mudi yang dianggap, kehidupan seksualitasnya sudah lebih bebas, dan juga dianggap melanggar aturan nilai-nilai di masyarakat Karo. Tetapi untuk kalangan orang-orang muda, keyboard ini sangat banyak digandrungi, karena dianggap lebih modern dan juga lebih bebas. Disamping itu, Gendang Guro-Guro Aron ini juga sudah banyak dipakai sebagai alat politik , dan juga sangat erat dengan kekuasaan/kepentingan elit politik, perseorangan atau kelompok.

Bagi masyarakat karo, saat sekarang ini, terutama mereka yang sudah tua, lebih berkeinginan untuk mengembalikan kesenian ini ke bentuknya yang asli/murni, supaya sesuai dengan fungsinya dan peranannya dalam mengatur tatanan kehidupan masyakarat Karo dan nilai-nilai, serta norma-norma, keharmonisan dan sopan-santun, yang telah lama dijalankan oleh masyarakat Karo, dan juga mempunyai kekuatan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat.
Hal yang saya gambarkan di atas ini, merupakan salah satu contoh, bagaimana kesenian tradisional, dapat menjadi sarana penyaluran aspirasi masyarakat dalam menyampaikan pendapat, dan di masyarakat lain juga misalnya di Ambon, dapat kita lihat bagaimana peran kesenian tradisional menjadi sarana untuk mempersatukan masyarakat yang berbeda agama, budaya, dalam membangun suatu rekonsialiasi. Ketika kesenian tradisional ini, tidak lagi mempunyai kekuatan yang mengikat bagi masyarakat, baik dalam tatanan nilai, norma-norma dan lain sebagainya, di mana yang mempunyai pengaruh besar adalah kekuasaan dan politik, maka konflik besar pun pecah di Ambon, yang lebih kepada isu Sara, karena masyarakat sudah tidak menghargai perbedaan/pluralitas dan multikulturalisme.
Bila di kaji dari sisi lain, memang hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa hampir setiap segi kehidupan, kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, itu masih belum terwujud, misalkan saja yang pernah saya cermati sebuah kesenian tardisional “Ronggeng” , dimana dalam kesenian ini, ketika perempuan dan laki-laki menari secara berpasangan, yang kadang kala si laki-laki yang memilih sendiri pasangan perempuannya untuk menari dengan cara menarik tangan perempuan dari tempat perempuan duduk, ketika menari si laki-laki memberikan uang berupa saweran kepada si perempuan dengan memasukkan uang tersebut ke BH/BRA perempuan, sambil menyentuh payudara si perempuan, dan hal yang sangat sering terjadi dalam “Ronggeng”, setelah menari, pasangan ini melanjutkannya dengan tidur bersama malam itu, yang berakhir kepada prostitusi.
Di sisi lain, dalam kehidupan kesenian tradisional, dianggap hal yang tidak wajar apabila perempuan menjadi seniman, karena seniman itu lebih kepada profesi laki-laki atau dunia publik, sementara perempuan dianggap lebih kepada kehidupan domestik. Satu hal yang selama ini, kontruksi sosial yang dibangun di masyarakat, ketika perempuan lebih banyak berkecimpung di luar rumah, dianggap perempuan itu telah mengabaikan tanggung jawabnya. Dalam banyak hal, perempuan itu merasa berdosa, apabila ia lebih banyak berkecimpung di luar rumah, karena ia merasa telah meninggalkan tanggung jawabnya sebagai ibu, yang bertugas mengurus anak dan rumah tangga.
Apabila kita amati saat sekarang ini, perempuan telah mulai banyak yang menekuni dunia seni, terutama seni tradisi. Permasalahan ini telah diangkat sebuah majalah Gong, peran perempuan telah banyak terekspose dalam dunia seni tradisi, demikian juga tulisan Jabatin Bangun, mengenai Gender di Seni Tradisi, Ideal dan Realitas dalam bukunya Perkara Tradisi, Pendidikan dan Manajemen Seni. Sekumpulan Esai. Tetapi satu hal yang harus kita bangkitkan, yaitu peran perempuan dalam kesenian tradisional, dimana perempuan yang selama ini dianggap tidak wajar berprofesi sebagai musisi, tetapi saat ini, kita harus berupaya menuju kesetaraan, dimana perempuan dan laki-laki punya hak yang sama, untuk berkreasi dalam dunia kesenian, terutama seni tradisi, dimana hampir saat ini sudah hampir sebagian besar punah, terancam dan terpinggirkan oleh kesenian barat yang dianggap lebih modern. Stereotipe, yang selama ini telah dibangun masyarakat, yakni peran perempuan di dunia domestik dan laki-laki di dunia publik, secara perlahan harus kita rubah, menuju keseteraan, di mana laki-laki dan perempuan haru8s dapat saling mendukung dan mengambil peran sesuai dengan porsinya, dan saling mengisi dan bekerjasama dalam kelebihan dan kekurangan, untuk hal-hal yang positif.
Harapan kita bersama, di masa yang akan datang, kesenian tradisional, bukan merupakan kesenian yang kuno, ketinggalan zaman, dan lain sebagainya, tetapi bagaimana, kita dapat berkreasi dengan kesenian tradisional, tanpa meninggalkan nilai-nilai positif yang dapat dimanfaatkan, dengan pandangan bahwa kesenian yang dari Barat, tidak selamanya lebih baik, dari kesenian kita. Disamping itu, bagaimana kita dapat membangkitkan dan merevitalisasi kesenian tradisional ini, menjadikannya sebagai sarana kampanye anti kekerasan terhadap perempuan, aspirasi dalam perjuangan Hak Asasi Manusia (HAM) dan menciptakan budaya feminin, bukan maskulin. Kita mungkin dapat belajar dari masyarakat Jepang, di mana teknologinya yang sangat mutakhir, canggih dan sangat maju, tetapi masyarakat Jepang dengan kedisiplinan yang sangat tinggi, tidak pernah meninggalkan kebudayaan tradisional mereka.
Pada masa-masa yang akan datang, perdamaian dapat terbangun dan menghargai pluralitas dan multikultural, dapat tercipta, kekerasan-kekerasan yang selama ini banyak terjadi, dapat diminimalisir, terkikis habis, sehingga demokrasi dapat diwujudkan, menuju masyarakat dan bangsa yang aman, terutama peran perempuan sebagai agen perdamaian sangat besar dan partisipasi perempuan dalam segala bidang lebih diperhintungkan dan lebih besar kesempatan yang diperoleh perempuan.

Kesimpulan Dan Penutup
Kesimpulan
Kesenian merupakan kebudayaan universal. Seluruh masyarakat di dunia ini mempunyai kesenian, tradisional. Kesenian sangat erat kaitannya dengan sistem nilai, budaya dan norma-norma yang ada di masyarakat. Di sisi lain, kesenian juga dapat menjadi sarana hiburan, bagi masyarakat dalam sela-sela aktifitas mereka.
Kesenian tradisional juga sering dipergunakan sebagai alat untuk menyalurkan aspirasi bagi masyakarat, dalam membangun demokrasi, untuk menyampaikan pendapat. Melalui kesenian, kita juga dapat memahami akan kmejemukan kebudayaan, masyarakat di dunia ini, terutama di Indonesia, untuk penyadaran akan saling menghargai perbedaan budaya dan masyarakat. Melalui kesenian, kita mengikis pandangan budaya sendiri lebih baik dari budaya orang lain, dengan kata lain, tidak memandang budaya orang lain dengan budaya diri sendiri. Pandang hidup yang kita pegang teguh “Bhineka Tunggal Ika/Berbeda-beda tetapi tetap satu jua, bukan hanya sebagai semboyan atau simbol belaka, tetapi bagaimana hal ini dapat terealisasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Membangun perdamaian/peacebuilding, dengan mengkampanyekan/ mempropagandakan budaya anti kekerasan, terutama anti kekerasan terhadap perempuan. Dengan demikian, konflik yang selama ini banyak terjadi, dimana yang paling menderita/korban karena konflik adalah perempuan, terminimalisir dan terkikis habis, sehingga terciptanya suasana aman, saling menghargai dalam perbedaan pendapat dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, yang pada akhirnya keadilan gender dapat diwujudkan.

Penutup
Saya berharap, tulisan ini dapat bermanfaat, baik bagi para akademisi, maupun masyarakat, untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan, terutama menambah pemahaman bagi masyarakat akan pentingnya kajian-kajian terhadap perempuan dalam pengalaman kehidupannya.
Saya menerima kritik dan saran, karena saya yakin tulisan ini masih banyak kekurangan, dan untuk perbaikan tulisan saya dimasa yang akan datang. Disamping itu, saya merasa tulisan ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut, untuk pembanguna perdamaian/peacebuilding di dunia, terutama di Indonesia.
Seperti lagu Badai Pasti Berlalu, hendaknya kekerasan yang selama ini banyak terjadi, terutama kekerasan terhadap perempuan, akan segera berlallu dari kehidupan kita.

SELAMAT MENYAMBUT HARI ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN.

Daftar Pustaka

Bangun, Jabatin. Perkara Tradisi, Pendidikan dan Manajemen Seni. Sekumpulan Essai. 2005. Penerbit Gong. Yogyakarta.
Gong Media, Seni dan Pendidikan Seni. Tradisi Mencintai Bumi. Gong Edisi 71/VII/2005. Penerbit Yayasan Media dan Seni Tradisi, ISSN 1411-576x. Yogyakarta.
Hidayana, Irwan M, Pendidikan Seksualitas dan Multikulturalisme, dalam buku Pendidikan Memang Multikultural, Beberapa Gagasan. 2005. Jakarta.
Search for Commoun Ground in Indonesia. Pengarusutamaan Gender Dalam Upaya Membangun Perdamaian, Kerangka Untuk Bertindak. Judul Asli: mainsteraming Gender in Peace Building : A Framework for Action. Ditulis oleh Donna Pankhurst and Sanam Anderlini. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh; Faye Scharlet. Tim Penyunting: Yuniyanti Chuzaifah, Noor Intan, Yooke Adelina, M.B. Wijaksana. Diterbitkan kerjasama Union


Catatan : Tulisan ini akan diterbitkan di Jurnal Pusat Data Informasi Perempuan Riau (PUSDATIN PUANRI) pada akhir Desember 2006